Bagian 29

161 21 0
                                    

Ketika Zayyan menginjakkan kakinya ke dalam kamar, aroma familiar segera menyapanya. Kamar itu penuh dengan kenangan yang terasa hidup, meskipun sang pemiliknya sudah tiada. Di meja kecil di sisi tempat tidur, tergeletak sebuah buku diary, menunggu untuk dijelajahi oleh mata Zayyan.

Zayyan meraih buku diary itu dengan gemetar, seakan-akan memegang erat lembaran kenangan yang tak bisa diulang. Dalam keheningan, ia membuka halaman pertama buku itu dan menyelami setiap kata yang terpahat di sana. Rindu dan kekhawatiran bergelayut dalam hatinya, menciptakan harmoni perasaan yang tak terungkapkan.

Catatan di dalam buku itu, lewat pena kak Husein, menjadi sebuah kisah yang mengalir dalam setiap halamannya. Setiap kalimat seperti menyentuh hati Zayyan, membawa kembali kenangan-kenangan manis bersama kakaknya. Di antara rindu dan kepedihan, Zayyan terus membaca, mencoba meresapi setiap kata sebagai cara untuk tetap merasakan kehadiran kakak yang kini hanya tinggal dalam kenangan.

"Assalamualaikum, Ayyi..." dimulai catatan tersebut, suara kak Husein seolah terdengar di dalam benak Zayyan.

"Apa kabarmu? Kalau kamu membaca buku ini, pastinya kakak tidak lagi ada di dekatmu. Karena, kapan lagi kamu pernah datang ke kamar kakak, Kamu tidak pernah sekalipun ke kamar kakak, Ayyi!"

Kata-kata itu menusuk hati Zayyan. Setiap ungkapan dalam catatan ini terasa seperti serpihan kenangan yang terhampar di depannya, mengingatkan pada momen-momen indah bersama kak Husein. Zayyan melanjutkan membaca dengan mata berkaca-kaca.

"Tanyain kabar kakak, apakah kakak sudah makan atau belum, Hanya sebaliknya kan? Kakak yang sering ke kamarmu, menanyakan kabarmu setiap hari, dan tanya apakah kamu sudah makan atau belum. Tapi jangan berfikir aneh-aneh dulu, kakak senang melakukan hal itu. Pasti sekarang Ayyi merindukan kakak, bukan? Makanya, sekarang ke kamar kakak."

Air mata Zayyan tak terbendung lagi. Sambil menggenggam buku diary erat-erat, ia merenung sejenak. Kak Husein, meskipun tak lagi ada di dunia ini, meninggalkan pesan yang penuh cinta dan kehangatan. Zayyan pun bangkit, memutuskan untuk menuruti saran kakaknya. Dengan hati yang remuk, ia melangkah menuju kamar kak Husein, memasuki ruangan yang kini terasa lebih sepi tanpa kehadiran sang kakak.

"Dalam hidup ini, banyak hal yang belum kamu ketahui, Ayyi. Kakak sayang banget sama kamu." Suara lembut itu terasa seperti belaian yang ingin menenangkan hati Zayyan. 

Ruangan kamar menjadi saksi bisu dari momen ini, dan setiap kata-kata yang terucap seperti menggantung di udara, menciptakan aura keintiman.

"Ini kakak ceritain tentang kejadian yang sangat mengerikan itu dan berkaitan dengan kecelakaan kamu di masa lalu," bisik kak Husein melalui kata-kata yang terpampang di halaman buku diary. 

Suara lembut itu seolah menyelinap di ruang-ruang keheningan hati Zayyan, menciptakan getaran yang memilukan.

Buku diary itu, seperti pintu gerbang menuju ingatan yang terkunci rapat, menjadi saksi bisu dalam kamar yang kini terasa penuh dengan ketegangan dan kekhawatiran. Setiap kata-kata yang terucap, setiap titik dan koma, seakan-akan membawa aroma kehidupan dan rahasia yang tersembunyi.

"Kakak sengaja nulis di buku ini, karena kita kan gak akan tau umur kita berhenti sampai kapan. Dan pastinya, kalau kamu tanya sama mama dan papa, gak bakalan dapat jawaban yang kamu inginkan terkait itu." Suara lembut itu melanjutkan, merentang ke dalam lubuk hati Zayyan dengan kelembutan dan keputusasaan yang tak terbendung.

Matahari perlahan merosot di balik jendela, menciptakan bayangan di antara halaman-halaman buku. Sementara itu, Zayyan terus merenung, membiarkan setiap kalimat meresapi dirinya. Buku itu, bukan hanya selembar kertas terikat, melainkan lembaran pengungkapan diri kak Husein, dan sekaligus jendela kejadian traumatis yang kini bersemi dalam kenangan mereka.

"Awalnya, papa dan bundamu saling mencintai satu sama lain dan mereka merupakan pembisnis hebat yang punya waktu sangat sibuk." Cerita itu diawali dengan latar belakang kehidupan orang tua Zayyan, memberikan gambaran tentang cinta dan dedikasi mereka dalam dunia bisnis yang penuh kesibukan. 

Ruangan kamar, seolah menyerap cerita itu, menjadi tempat di mana sejarah keluarga mereka terurai.

"Papa menginginkan punya anak, tetapi bundamu tidak setuju karena karirnya lagi masa jayanya dan tidak ingin merusak karirnya dengan memiliki anak." Konflik pertama, terbentur antara keinginan memiliki keluarga dan kecemasan terhadap karir yang sedang berkembang. Suara hati papa dan bunda terdengar begitu jelas melalui kalimat-kalimat ini.

"Sampai akhirnya, papa dan mama bertemu, saling jatuh cinta, dan menyembunyikan hubungan mereka." Kisah cinta terlarang yang bersemi di tengah kesibukan dan ketegangan. Suara sayang dan perasaan terlarang yang harus mereka sembunyikan.

"Mereka merahasiakan cinta mereka bertahun-tahun, dan semua tetap tersembunyi hingga kakak lahir." Keberanian dan ketabahan dalam menjaga rahasia. Bayangan masa lalu mereka, yang tersembunyi rapat di balik senyuman dan kebahagiaan keluarga.

"Disaat umur kakak 4 tahun, mama mendengar kabar bahwa bundamu lagi hamil dan berusaha menjauh dari keluarga kalian."

"Namun, papa sangat kasihan kepada kami, sehingga kami tetap di biayai hidupnya." Keputusan penuh pengorbanan dan kasih sayang. Suara hati papa yang rela memberikan segalanya demi kebahagiaan anak-anaknya. Sebuah pintu yang terbuka ke dalam kebijaksanaan dan kehangatan hati papa Husein.

"Sampai akhirnya kamu lahir dan berusia 6 tahun, sedangkan kakak berusia 11 tahun." Keberlanjutan cerita membawa Zayyan ke momen di mana keluarganya semakin terjebak dalam drama kelam yang menghiasi hari-hari mereka.

Keluarga Arkara (Zayyan & Hyunsik Xodiac) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang