liburan keluarga adalah salah satu alasan untuk menghindari kelas

9 2 0
                                    

- Kyla

Kini giliranku yang akan bercerita mengenai kisah klise seperti bagaimana aku menghabiskan waktu berliburnya bersama orang tuaku.

Ah, bukan. Sebenarnya ini belum memasuki masa liburan, masih jauh malah. Aku sengaja absen beberapa hari dengan berdalih terdapat acara keluarga yang harus kudatangi.

Tapi memang benar.

Dalam rangka merayakan pembukaan kolaborasi bisnis ayah dengan sahabat lamanya (jangan tanya bisnis apa, aku juga tidak tahu dan tidak penasaran), ia mengadakan sebuah perjamuan makan malam keluarga, di mana aku tidak memiliki pilihan lain selain ikut.

Andai saja ini hanya sekadar makan malam biasa, aku mungkin tidak perlu bolos sekolah. Ayah tidak mempertimbangkan posisiku sebagai pelajar SMA dan malah mengagendakan gathering ini di pada hari kerja dan jauh di luar kota, tempat bisnis baru mereka dibangun.

"Sekalian liburan," dalih Ayah. "Ayah juga mau lihat gimana keadaan asli di sini."

Seakan ayah ingin membuatku lebih kesal, keputusan menyebalkan ayah tidak berhenti di situ. Alih-alih mengadakan makan malam di hotel tempat kami menginap, bonding antara dua keluarga ini berlangsung di sebuah tempat makan pelosok jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Hal ini membuat menyelinap pergi sebelum pertemuan usai menjadi hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.

Menengok jam di tangan kiriku yang menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit, aku berpura-pura menahan diri untuk tidak menguap. Tentu saja aku belum mengantuk, tetapi aku ingin memberi kode pada ayah agar segera mengakhiri obrolannya dan segera kembali ke hotel.

"Kyla, sudah mengantuk, Nak?" tanya Ibu yang tidak tahan melihatku. "Maklum saja, perjalanannya cukup jauh dari rumah. Sepertinya Kyla kelelahan."

"Tentu. Ingin segera istirahat di hotel, Nak?" tanya Pak Ardi, sahabat sekaligus kolega ayah. "Bagaimana kalau kita lanjutkan saja pembicaraan kita besok?"

"Jangan begitu. Ini masih terlalu sore. Masih ada beberapa hal yang akan aku diskusikan." Ayah menentang. "Aku yakin Kyla belum begitu lelah. Lagi pula, Kyla biasanya nggak tidur hingga tengah malam di rumah."

"Dia baru saja berada di perjalanan jauh, tentu saja beda." Ia kemudian menoleh pada putranya yang juga hadir dalam pertemuan ini. "Ah, bagaimana kalau Adrian saja yang mengantarmu? Dia tadi datang ke mari sendiri. Nggak ada acara lain setelah ini 'kan?"

Kak Adrian menggeleng.

"Bagus. Sekarang antar Kyla dulu," pinta Pak Ardi. "Kyla nggak masalah, 'kan?"

Aku tidak segera menjawab karena ayah menyerobot. "Ide bagus."

Aku tahu Kak Adrian adalah pria baik-baik. Bahkan Ayah yang cukup strict saja mempercayainya. Kami sudah saling mengenal sejak lama, mengingat ayah kami bersahabat. Akan tetapi, tetap saja, aku dan Kak Adrian tidak sedekat itu hingga membuatku merasa nyaman berada dalam mobil berdua saja dengannya.

Tapi aku ingin segera pergi dari sini.

Mengangguk pelan, aku pun menunggu keputusan putra Pak Ardi itu, apakah ia akan mengantarku atau tidak. (Tentu saja dia akan mengantarku, dia tidak punya pilihan lain. Aku hanya tidak mau terlihat begitu desperated untuk segera pergi, tanpa mengetahui apa yang Kak Adrian mau.)

Lagi-lagi hanya dengan satu anggukan, Kak Adrian bergegas mengemasi barangnya. Ia mengucapkan salam perpisahan dengan sedikit basa-basi dan penuh sopan, sebelum akhirnya beranjak mengajakku pergi.

Memasuki mobilnya, ada keheningan kaku menyelimuti kami berdua.

Aku yang tidak dapat memulai obrolan pun memutuskan untuk kembali melanjutkan acting lelah. Dengan begitu aku tidak terlihat begitu awkward karena hanya diam.

Kelas Bulan FebruariWhere stories live. Discover now