4. Monolog Yang Aku Karang

43 21 1
                                    

▫️◽

Ya, nanti kalau kita sudah sampai tujuan, jarak mungkin akan jadi hal yang paling mudah untuk dihilangkan; hilang sebab semestinya tak pernah ada atau dihilangkan sebab adanya tidak seharusnya ada. Pandangan kita terhadap dunia akan memuncak dan mungkin berbeda, tapi kita bisa saling menenangkan dengan pelukan dan percakapan yang mengundang suka cita. Bahkan hal sedih tetap mengundang cinta jika didengarkan oleh orang yang kita syukuri keberadaannya. Atau bahkan melihatmu didengarkan dengan seksama tetap jadi sebab bahagia meski bukan aku pendengarnya.

Kalau kita sudah sampai tujuan, mungkin mengenang adalah kata kerja yang paling kubenci keberadaannya. Mendesak lupa meski sialnya kepala lebih pandai mengingat saat ingin melupakan. Ya sudah, barangkali mengenang adalah salah satu bahasa rasa. Biar aku tetap mengikatmu lewat bait-bait doa, meski mengarah pada arus yang tak sama. Biar begitu saja, sebab itu satu-satunya cara yang kupunya.

Malam menemui kita pukul 21.00 tepat, kita tak butuh waktu lama untuk menunggunya. Dari arah timur, malam datang dan tersenyum memeluk kita yang masih melaju di jalan raya.

"Lihat, ia tergesa-gesa dan berlari untuk sampai di hadapan kita." ucapmu dengan riang. "Apa kau bersama bintang?" sambungmu yang masih menatap ke atas sana, mungkin itu pertanyaan untuk malam, dan hanya ada hening sesudahnya.

"Pegangan," Jika malam dapat berbicara, mungkin itu yang akan ia katakan. "jangan dilepas, ini perintahnya!"

Sedikit bingung dengan kisah asmara yang kau jalani. "Ternyata, kau benar-benar pengagum setianya." sambungku.

"Ssttt...," Kau diam beberapa detik, memastikan malam tak mendengar apa yang akan kau katakan. "sebenarnya, akhir-akhir ini, pagi lebih menawan."

Kita menikmati jalanan cukup lama, tapi malam tak membiarkan kita menjauh darinya.

"Aku menyayangimu!"

Kau menatapku melalui kaca spion.

Dalam perjalanan yang awalnya entah akan membawa kita kemana, tapi malah berhenti pada suatu bukit kecil yang sepi. Kita telah mencapai warna pekatnya malam. Menikmati bintang-bintang yang bercahaya, juga senyummu yang tak kalah jelita. Kini kau bisa melihat seisi dunia ada dihadapanmu.

"Ini cantik." ucapmu.

Kau menatap kagum, sedangkan hati ini tengah berterima kasih pada semesta yang sudah mempertemukan kita lagi, dengan cara yang tak terduga.

Langit mendekap semua keraguan, kau memeluk tubuh ini dengan hangat, membisu sembari mendaratkan lamunan masing-masing. Ketakutan selalu saja meliputi, akan berapa lama waktu untuk kita saling memiliki hingga dapat kembali.

Tak terasa, kita di jemput pagi. Arunika merona, burung-burung mulai berkicau dan terbang seirama. Kita masih terjaga dari malam yang larut hingga pagi yang paling buta. Malam berpisah ditengah jalan, pagi memberikan kecupan.

"Mataku pernah mencari, kau tahu?"

"Tidak." jawabmu.

"Tanganku pernah ingin menggenggam, kau tahu?"

"Tidak." jawabmu lagi.

"Hati ini mencari kecewanya biru pada senja yang sukar sekali pulang."

"Maksudmu, langit?"

"Iya, tapi bukan tentangnya. Namun—"

Kau hanya diam.

"Apakah datang dan hilang itu akan selalu terkenang?" tambahku dengan melihat wajahmu. Namun, kau hanya diam.

"Kalian mungkin mirip." ucapku.

"Sukarnya?"

Menarik napas panjang-panjang, lalu tersenyum. "Kalian sama. Cantik dan indah yang selalu di nantikan. Walau kini pergi, esok hari dinantikan lagi. Akan tetap ada yang selalu setia menunggu, lagi dan lagi."

Aku tahu, dalam situasi saat ini, kau hanya akan terus diam. Seandainya saja bisa mengelus rambut dan mencium keningmu sekali lagi. Seandainya saja.

"Ingin bertanya, kau tahu?" tanyaku lagi.

"Tentang apakah yang dinanti akan pergi lagi?"

Lalu kita berdua menjadi hening. Tak sadar, aku telah berhenti tepat di depan rumahmu. Berpamitan walau kau atau siapapun tak ada lagi di dalamnya.

Tetap di lalukan, meminta diri pulang untuk merenungkan apa yang tengah di perankan. Jika diri ini di ibaratkan langit, maka rindu yang seperti apalagi yang belum pernah di lewatkan? Menegaskan tentang kerinduan terhadap bumi, -kau- seperti ingin meruntuhkan seisinya.

Kita bagaikan dua orang asing yang sedang berbicara dalam hati masing-masing. Benar kata orang-orang, jika khatam mencintai keseluruhannya, suatu waktu akan sulit melupakan dirinya sesiapa, mungkin itulah yang saat ini terasa.

Jika saja kau tahu, aku adalah lelaki yang cengeng, berlari-lari di tengah malam kebingungan. Tangis pecah, senyum di bibir menghilang. Ironinya selalu saja mengatai diri sebagai sebuah kesalahan, di mana kecintaan hanya sebatas mimpi. Petir menggelegar, tetapi memilih kehujanan. Tutup telinga lalu berteriak dan bertanya, tapi malah menjawab sendiri. Ini seperti mencari arti kerinduan, diam menjemput khayalan, kapan akan benar-benar di pertemukan.

Kalimat yang akan terus membumbuhi setiap harapan, hingga saat kau datang, semua masih saja dalam bentuk tanda tanya, kau nyata, atau hanya tengah memainkan peran dalam cerita monolog yang aku karang.

Sepertinya tiap cerita yang tertuang, mulai ku pahami, tidak semua cerita perlu di bagi, biarlah sunyi. Menghapus jejak yang membebani hati, melepaskan bayang-bayang masa lalu, ku terima penyesalan sebagai bagian dari diri, dalam perjalanan ini, aku belajar untuk tumbuh. Ketika langkah terhenti, aku menenangkan jiwa, menemukan kekuatan dalam kesendirian, di balik dinding sunyi, aku merajut mimpi, membangun diri, tanpa rasa terbebani.

Namun, sepertinya hidupku sudah terpenjara; tempat banyak harap berpulang parit, tempat banyak ingin berakhir terbit—terbaring dan sakit. Aku sediam batu, memendam beratus-ratus ambigu yang tak pernah alpha mengingatmu? Aku rindu, serindu langit kemarau mengemis hujan pada yang satu.

Kepala Yang Di Mahkotai Kata SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang