[fumaanna] familiar

35 4 0
                                    

[familiar]kikuchi fuma x yamada annadystopian ◾ disasters

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[familiar]
kikuchi fuma x yamada anna
dystopian disasters

**

“Kalau besok matahari berhenti menyingsing, apa yang pertama kali akan kau lakukan?”

Jika harus jujur, Anna tidak pernah suka pertanyaan ini. Memang, dengan bumi yang seperti sekarang—nyaris setengahnya kini terkontaminasi zat radioaktif—seharusnya Anna lebih pandai mempersiapkan diri. Akan tetapi, dia mau menikmati hidupnya. Berhenti berpikir. Tidak mementingkan detik demi detik yang berlalu. Menutup mata pada kiamat di hadapan.

Fuma selalu begitu. Meski terkenal sebagai manusia paling berisik dan lucu (sok lucu, lebih tepatnya) di kamp mereka, sisi-sisinya yang begini kadang keluar di waktu-waktu tertentu. Dan Anna sering kena getahnya.

“Melanjutkan tidur, mungkin?” Anna menjawab asal-asalan. “Semuanya pasti gelap. Benteng radioaktif kita juga pasti lenyap karena listrik tenaga surya berhenti bekerja. Mending tidur lagi, mati dengan tenang.”

“Idemu boleh juga.”

Ini sudah pukul 25.00 dini hari. Iya, kemalasan bumi untuk berotasi pada pusarannya menyebabkan hal tersebut. Mungkin dia lelah. Mungkin kita semua lelah. Akan tetapi, tidak ada yang lebih lelah dari Anna yang terjebak harus mencuci piring bekas makan malam bersama Fuma yang sedang kambuh.

“Kau sudah kuanggap jadi adik sendiri, tahu,”

Sambil menggosok piring dengan noda paling bandel dalam bak—Anna yakin ini punya Kento, Nagao Kento, yang kalau makan selalu bersisa—gadis itu melenguh, “Ya, ya. Silakan cerita lagi tentang pentingnya aku menggantikan adik aslimu yang hilang setelah ledakan radioaktif pertama itu.”

Fuma meringis. “Kau cemburu?”

“Cemburu dari mana?” Nada bicara Anna jadi naik. “Aku cuma mau cuci piringnya selesai terus kita tidur. Kalau sudah malam kau seperti orang mabuk, bahkan ketika sedang tidak minum sekali pun.”

Fuma terdiam sesaat. Tangannya bergerak seadanya, menunjukkan kealpaan dari niat menyikat kotoran di alat makan. Terkadang, dia ingin sekali mendongak menatap langit, berharap ada bintang di sana. Di waktu-waktu relung filosofinya terbuka seperti ini—yang Anna alamatkan sebagai waktu kambuh—dia suka sekali memandang benda langit berkilauan tersebut. Sayangnya, setelah semua yang terjadi pada bumi, mereka seperti mitos belaka. Tidak ada yang mencari lagi keberadaan mereka.

“Jangan melamun. Selain kerjaanmu nanti semakin lama, nanti bisa-bisa kau dirasuki sesuatu.”

Mendengarnya, Fuma tak bisa tak tertawa. “Aku tak menyangka kau masih percaya yang begitu-begitu.”

Anna mengoper tumpukan piring lain yang belum dicuci. “Nyoh. Masih ada segini lagi. Kerjakan cepat!”

Hal itu berhasil membuat Fuma berhenti cengar-cengir dan pasrah menerima piring-piring tersebut dari tangan Anna. Tangan mungil—jauh sekali ukurannya dari tangan Fuma sendiri—yang tidak sama sekali pernah Fuma bayangkan akan berubah seperti ini. Kukunya terkikis, ujungnya membiru, dan beberapa jarinya keriput. Berbeda sekali dengan yang pertama kali Fuma lihat dulu.

**

“Jarimu bagus,” puji Fuma ketika melihat tangan Anna yang sibuk memutar setir. Kukunya lentik, warnanya berseri sehat, seperti akan pecah jika dipergunakan untuk hal berat-berat. Mereka sedang dalam perjalanan membawa sisa barang dari kamp utara, tempat terakhir Anna singgah.

“Terima kasih. Kalau saja tanganmu tidak patah, aku mungkin tidak akan membiarkannya dipakai menyetir seperti ini,” desis Anna. Fuma tahu Anna dan sarkas adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Yang tidak diekspektasikannya adalah sambungan dari kalimat tadi. “... Maaf. Aku harusnya berterima kasih. Tanganmu patah karena menahan runtuhan itu untukku.”

Kali ini, Fuma bisa tertawa. “Anna, sebelum apokalips kita sudah pernah bekerja sama, dan ini pertama kalinya kau mengucapkan terima kasih!”

**

“Kau memerhatikan tanganku lagi,”

“Sejak kapan mereka membiru?”

“Kau lupa? Aku kerja di bagian puing sekarang. Mengumpulkan hal-hal yang bisa digunakan untuk suku cadang,” gerutu Anna. “Aku tidak tahan diam saja di kamp cuma gara-gara perempuan.”

Fuma terkekeh. Anna memang begitu. Terlepas dari perbedaan umur, terkadang Fuma terkejut jika menemukan kesamaan dalam pemikiran mereka. Sebelum semua bencana ini melanda, sebelum dunia lelah, Fuma dan Anna bekerja sebagai aktor. Mereka sempat dipasangkan dalam beberapa proyek. Mungkin dari sana rasa peduli itu tumbuh. Mungkin itu juga yang membuat Fuma mau repot-repot menahan runtuhan di tebing saat menyelamatkan Anna di kamp utara beberapa tahun lalu.

Entah apa yang dilihatnya dalam Anna, Fuma tak tahu.

“Berhenti melamun, Tuan,” kali ini sentilan mendarat di dahi Fuma.

“Sakit! Tidak bisakah kau membiarkanku memproses kehidupan?”

“Sudah jam berapa ini? Waktu tidur akan habis! Harusnya kau bergegas!”

“Padahal aku sedang bersyukur atas keberadaanmu dalam diam!”

Anna terkesiap. “A-apa? C-c-coba ulangi?”

Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur diucap. “Aku sedang mengingat hari pertama kita bertemu lagi di kamp utara. Bagaimana runtuhan itu nyaris membunuh kita. Dan dinginnya suhu hari itu. Lalu, barang-barang sisa. Tanganmu yang cantik. Dunia yang seperti baik-baik saja,” Fuma hampir tersengal-sengal untuk melanjutkan, “Siapa sangka, pertemuan kembali dua aktor yang bekerja sama sebelumnya, terjadi di dekat titik vital gempa pertama setelah bencana radioaktif, dan tanganku harus patah karena menyelamatkanmu dari runtuhan?

Tapi terlepas dari itu, kau adalah wajah familiar. Dari semua orang yang selamat, wajahmu yang paling kukenal. Bahkan dalam tidur. Maka dari itu, aku bersyukur, Anna. Terima kasih sudah selamat. Entah selamat dari bencana, atau selamat dari racauanku selama ini.”

Sulit sekali untuk mencerna omongan Fuma tanpa membiarkan pipinya terasa hangat oleh hormon. Kalau saja tangannya tidak penuh busa sabun cuci piring, bisa jadi Anna sudah menyembunyikan wajahnya. Fuma yang begini aneh.

“Aku harus respon apa buat ini?”

“Tak perlu,” sahut Fuma. Akan tetapi, perasaannya berubah secepat kilat. “Eh, tapi untuk balasannya, sebenarnya boleh, sih, kalau kau mau memanggilku onii-san …,”

“OGAH!”

**

And those who only know the non-platonic love have no need to talk of tragedy. In such love there can be no sort of tragedy.

— Leo Tolstoy, Anna Karenina

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

your skin, the layers of homeWhere stories live. Discover now