12. Manado

636 133 10
                                    

SETELAH perdebatan yang lebih banyak ku dominasi usai, Mas Baskara berhasil meredam emosiku. Kami berakhir damai karena bunyi berisik dari perutnya terdengar begitu lucu bagiku. Tawa kami pecah, masih teringat jelas bagaimana raut wajah malunya setiap aku menyinggung ketidakmampuannya menahan rasa lapar. Dia hanya diam, menyantap ayam serundeng goreng yang ibu bawakan dengan sangat lahap. Bibirku terus berkedut menahan tawa saat diam-diam dia mengambil nasi lagi di rice cooker. Tingkahnya sangat polos, seolah dia bukanlah seorang Baskara yang selalu terlihat gagah.

"Kamu terlihat sangat menikmati kekonyolan saya Tik," katanya memrotesku yang masih kesulitan menahan senyuman di bibir.

"Karena kejadian tadi cukup langka?" Dia hanya berdehem sebelum melanjutkan acara minum tehnya.

Sepertinya tragedi kelaparan tadi hanya intermeso sesaat, karena kini kami kembali dilingkupi suasana canggung. Siapa sangka dalam beberapa jam, kami telah melalui berbagai macam perasaan? Sebagai sepasang-tanpa-hubungan tentu cukup aneh bagi kami, terutama bagiku yang sebelumnya sempat menawarkan suatu percobaan tentang keseriusan. Mengingat kembali bagaimana dia menolakku dengan alasan yang cukup klise, memicu kekesalan dalam hatiku.

"Ada yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Mas Bas yang selalu membaca pikiranku.

"Menurutmu apa Mas?" Dia tampak berpikir, mungkin mencoba mencari padanan kata yang tak lagi menyakitiku sepertii tadi. Namun aku bukan anak kecil yang mudah dikelabuhi dengan bahasa berbeda.

"Apakah masih permasalahan yang tadi?" Dia sadar.

"Iya."

Aku tak mau kesulitan sendiri menahan beban pikiran yang seharusnya dapat diurus saat itu juga. Sejujurnya jawaban Mas Baskara belum memuaskan egoku. Dia tak menjawab tidak pun iya, aku ditempatkan pada posisi dimana diriku yang harus menentukan. Namun saat kuputuskan untuk menjawabnya dengan 'iya' dia yang malah mendorongku untuk kembali ke posisi awal dan kembali memikirkan jawabannya.

"Mas gak mau memikirkannya lagi? Karena aku sudah sangat yakin untuk kembali coba sama Mas."

Dia terdengar menghela napasnya kasar, mungkin lelah menghadapi gadis bebal sepertiku. Namun apa salahnya? Kami memang diminta untuk saling mengenal, ya meskipun aku sedikit mengacau di awal perjalanan ini.

"Kamu sudah memahami maksud saya tadi Tik? Saya gak yakin secepat itu kamu memahami maksud saya."

"Kamu bisa kasih tahu lebih jelas Mas, nggak perlu dengan kata-kata ambigu yang bikin aku salah menafsirkan."

"Oke, kamu mau mengerti maksudnya?" Aku mengangguk yakin.

"Melihat kamu itu seperti melihat diri saya di masa lalu. Saya selalu berpikir rasanya tidak ada yang tidak saya korbankan untuk orang-orang yang saya sayangi, sampai akhirnya semua pergi dan saya sadar pada akhirinya saya hanya akan sendirian. Lalu yang tersisa ya hanya saya yang selalu merasa hampa karena merasa hidup saya untuk orang lain, kalau orang-orang tersebut tidak ada atau mati begitupun diri saya ikut mati sama-sama."

Mas Baskara memulai ceritanya, dan seperti biasa dalam kisahnya selalu ada daya tarik yang membuatku turut terhanyut di dalamnya. Seperti aku adalah salah satu bagian dari penggalan kisah itu, sampai aku merasa bahwa aku adalah yang dia kisahkan. Namun sepertinya, aku tidak akan pernah setabah Baskara.

"Tetapi, beruntungnya saya dipertemukan dengan Pakde."

"Bapak?" Mas Bas mengangguk diikuti senyuman lebar.

"Bisa dikatakan Pakde menyelamatkan hidup saya agar hidup lebih baik. Pakde dan teman-teman sanggar yang menemani saya ketika Bapak saya sakit sampai meninggal, yang temani dan bantu saya ketika kesulitan bekerja sambil kuliah, beliau yang mendorong saya untuk tetap berada pada jalan yang baik dan buat saya bahagia. Kalau boleh saya kurang ajar, sejujurnya saya ingin sekali mohon ke kamu untuk berbagi Bapak dengan saya Tik."

(UN)WANTED PARTNERWhere stories live. Discover now