Bab 4 : Godaan Tetangga

454 42 15
                                    

Indri memang bukan wanita karir yang bisa berdandan cantik setiap hari. Mungkin kalau dibandingkan dengan Almira, dia kalah jauh. Wanita itu terasa seperti punya dunia yang berbeda dengannya. Meski Indri tidak sepintar Almira, namun ia tidak terlalu bodoh untuk menangkap gelagat tak biasa Tomi terhadapnya. Setelah celetukan Naura tentang memiliki papa seperti Tomi tempo hari, pria itu jadi mengeluarkan ekspresi tersipu jika berpapasan dengan Indri. Tentu saja hal itu membuat hati Indri jadi berdesir tidak karuan. Namun, dari pada desiran dalam hati yang tidak terlalu signifikan berpengaruh terhadap hidupnya, Indri lebih suka kalau Tomi bisa jatuh dalam genggamannya saja. Dengan begitu, mungkin pria itu benar-benar bisa jadi papa baru Naura.

Seperti pagi ini, saat Indri sedang menjemur pakaian dan Tomi sedang memanaskan mesin motor untuk berangkat kerja, Tomi lebih dulu menyapa Indri. Wajahnya tersenyum canggung, dengan pakaian coklat khas seragam dinas pegawai pemerintahan. Dia menyisir rambutnya dengan tangan sambil menaikkan sebelah alisnya. Tidak perlu sekolah untuk memahami kalau itu adalah gerakan yang lumayan mengundang godaan.

"Rajin banget, In, pagi-pagi udah nyuci." Sapanya sambil manggut-manggut kalem. "Naura masih tidur, ya?"

Indri sedikit terkejut, pasalnya jarang sekali Tomi mengajaknya bicara. Biasanya, mereka hanya bertukar senyum jika saling berpapasan. Bahkan, jika ia dan Almira sedang bertukar cerita tentang sesuatu, Tomi tak pernah ikut campur. Indri dan Almira juga sudah bersahabat sejak ia dan Tomi pindah ke sebelah rumahnya. Mereka cocok secara alami dan mulai dekat satu sama lain. Tapi, selama tahun-tahun itu, Tomi sama sekali tidak pernah menggubrisnya. Memang, terkadang dia membelikan beberapa camilan untuk Naura, tapi ya hanya sebatas itu. Perbedaan kali ini cukup mencolok. Sebagai wanita yang suaminya pernah direbut pelakor, Indri tahu kalau Tomi sudah mulai centil padanya. Perasaan Indri semakin yakin kalau gelagat Tomi memang jadi sedikit berbeda. Yah, coba saja diladeni dulu. Mana tahu benaran jadi?

"Iya masih tidur, Mas. Sekolahnya masuk siang." tanya Indri setelah melihat lelaki itu sudah rapi dengan setelan kerja. "Ngomong-ngomong kok tumben?" Indri tersenyum centil, dia juga menyelipkan rambut ke belakang telinga sebagai sambutan atas godaan Tomi tadi. "Oh iya, Mas Tomi benaran udah mau berangkat kerja? Kok pagi banget?"

Almira dan Tomi adalah pasangan yang serasi. Perempuannya cantik, dan laki-lakinya tampan. Sejak awal sebenarnya Indri sudah menyadari kalau wajah Tomi itu memang enak dilihat. Dia punya bahu yang lebar dan pinggang ramping. Tubuhnya tidak terlalu berotot, dan perutnya juga tidak sampai kotak-kotak ber- abs seperti tokoh CEO dalam cerita novel, bahkan di perut Tomi ada sedikit lemak yang menumpuk meski tidak terlihat di balik seragamnya. Tapi, tubuh Tomi cukup berisi dan itu membuatnya terlihat proporsional. Di mata Indri saat ini, Tomi terlihat gagah dan menawan dengan seragam dinas serta rambut yang tersisir rapi ke belakang.

"Iya, nih, sekalian cari sarapan." Tomi tersenyum lagi.

"Oh...Almira lagi nggak masak, ya?" Indri mengangkat kedua alisnya, dia tahu kalau Almira itu memang wanita karir yang sibuk sih ... tapi, memangnya istri macam apa yang tidak memasak untuk sarapan dan membiarkan suaminya jajan di luar?

"Almira emang nggak pernah masak kalau pagi, jadi biasanya kalau sarapan beli kopi sama nasi uduk di depan komplek," sahut Tomi enteng seolah itu adalah hal yang lumrah.

Mendengar ucapan Tomi, kening Indri berkerut dalam. Mungkin mereka memang sudah terbiasa melakukannya begitu, sehingga di anggap wajar. Namun tentu tidak wajar bagi Indri yang menjunjung tinggi kewajiban seorang istri. Sudah dari sananya perempuan itu harus tunduk pada laki-laki, dan melayani mereka sebagai bagian dari tugas seorang istri. Almira ini cerdas dan wanita karir, tapi kenapa otaknya bahkan tidak sampai untuk memikirkan persoalan simpel begini? Melihat Tomi yang nampak legawa diperlakukan sedemikian rupa oleh istrinya, membuat Indri semakin tidak menyukai Almira. Sungguh perempuan yang tidak tahu diri, Indri merasa Almira istri yang sangat tidak berguna dan menyusahkan.

Should We Divorce?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang