Aku terus menyeka air mata yang tidak berhenti mengalir di pipi.
Hatiku terasa sangat sakit.
'Fa, titip Arkan sik, yo!'
Entah kenapa bayangan Ning Hilya tiba-tiba muncul.
Aku tersentak, dan tangisku langsung terhenti.
Di saat yang bersamaan, aku melihat seseorang memperhatikanku.
Dia adalah kakak senior di kampus, yang kemarin pernah baik padaku.
Aku segera menyeka air mata ini, lalu mulai memejamkan mata, membuang napas keras, berusaha melepaskan luka di hati.
'Ini untuk Arkan, untuk Ning Hilya, bukan untuk laki-laki itu,' ucapku dalam hati berusaha menguatkan diri.
Aku mulai bangkit dari kursi. Saat hendak menuju kamar Arkan, aku melihat mesin vending minuman di sisi kanan lobbi, yang letaknya sekitar 20 meter dari tempatku berdiri.
Aku yang sedari tadi pulang dari kampus belum sempat minum, bergegas menuju mesin itu untuk membeli satu botol air mineral.
Kumasukkan satu lembar uang kertas warna kuning, kemudian meraih satu botol minuman yang terjatuh di bawah mesin.
Belum sempat aku meminumnya.
Tiba-tiba suara Gus An terdengar memanggil.
"Fa! Farzana!"
Spontan aku berbalik dan berlari menghampirinya.
"Dari mana saja kamu?" tanyanya menyeringai.
"Aku beli minum," lirihku.
"Kamu masih sempat minum, padahal di dalam sana, Arka masih berjuang untuk hidup!"
Wanita ningrat yang berdiri di sisi Gus An spontan menyahut dengan mendorong bahuku, hingga aku mundur beberapa langkah karenanya.
"Maaf!" ucapku lirih.
Aku berusaha mengabaikan amarahnya.
"Cepat masuk, Arkan mencarimu!" pinta Gus An.
Aku melewati wanita itu, bergegas masuk ke dalam kamar Arkan.
Arkan, dia terkulai lemas di atas bed rumah sakit dengan punggung tangan kanan ditusuk jarum infus.
"Bunda!"
Pria kecil itu langsung menjulurkan tangannya dengan memanggilku.
"Atu mau bobok digendong bunda!" rengeknya.
Aku mendekat, Arkan berusaha bangun, lalu memeluk erat pinggangku.
Rasanya tak mungkin aku meninggalkan Arkan dalam keadaan seperti ini.
Aku pun meletakkan botol air mineral yang aku pegang di meja sisi bed Arkan, kemudian segera mengangkat tubuh pria kecil itu, dan seperti biasa dia langsung menidurkan kepalanya di bahuku.
****
Malam ini, aku berada di rumah sakit untuk menjaga Arkan.
Beruntung saat subuh menjelang Arkan mulai tenang dan bisa ditidurkan di tempat tidur rawatnya.
Aku segera menghubungi Ningsih untuk menggantikan posisiku menjaga Arkan di rumah sakit, karena aku harus pulang untuk mengurus Akbar dan Adiba, serta persiapan berangkat ke kampus.
***
Dengan penuh perjuangan akhirnya pagi ini aku dapat menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku bisa mengantar anak-anak sekolah lebih pagi, dan sampai kampus tepat waktu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abdi Ndalem
RomansaGadis ini terpaksa menikah karena wasiat pernikahan dari orang yang sangat dia sayangi