1. Awal Pertemuan

46 3 0
                                    

Dingin. Jaiz mengeratkan jaket yang dipakainya. Kedua matanya memperhatikan keadaan sekitar. Sesekali ia menggosok-gosokkan telapak tangannya. setelah itu menempelkannya ke pipi. Angin malam ini terasa begitu menggigit kulit, bahkan menembus sampai ke sumsum tulang.

Sudah hampir satu jam lamanya, Jaiz berdiri di tempat ini. Makin lama makin penuh. Dan ia mengeluh ketika pesanannya tak kunjung selesai dibuat. Kedua kakinya sudah pegal karena berdiri. Jaiz berjongkok, lalu kembali berdiri. Seperti itu sampai beberapa kali.

Salahkan Mahardika—kakaknya—yang menyuruhnya untuk membeli roti bakar. Bukan karena Jaiz tidak suka makanan tersebut, tapi karena ia tahu kalau pasti akan mengantri. Apalagi malam ini udaranya begitu dingin selepas hujan tadi.

"Bang. Punya saya mana?" Jaiz menanyakan pesanannya pada penjual roti bakar yang sedang sibuk menyiapkan pesanan.

"Sebentar lagi," jawab penjual roti bakar.

Jaiz menghela. Ini bukan pertanyaan pertamanya. Sudah yang kelima kali. Dan pesanannya tak kunjung jadi. "Sebentarnya kapan, Bang?" ucapnya yang tidak diharuskan penjual roti bakar.

Karena merasa kesal, Jaiz pun menggerutu tidak jelas. Nanum, matanya masih sempat menemukan kursi plastic yang kosong. Secepat kilat ia menyambarnya dan duduk di sana. Akan tetapi, matanya berserobok dengan sepasang mata milik seorang gadis. Sepertinya ia sudah mengambil kursi yang ingin diduduki gadis ini.

Siapa yang peduli?

Akhirnya, pesanan Jaiz selesai dibuat. Ia tidak begitu senang. Kakinya kesemutan, tangannya gatal digigit nyamuk. Belum lagi badannya yang sudah seperti mandi air es.

"Ini uangnya, Bang." Jaiz menyodorkan satu lembar pecahan lima puluh ribu. "Kembaliannya simpan saja," ucapnya.

"Uangnya. Mana ada kembaliannya," gerutu penjual roti bakar.

Jaiz terkekeh pelan.

Setelah mendapatkan pesanannya, Jaiz pun buru-buru pulang. Sebelum menyalakan mesin motornya, ia sempat melihat gadis tadi sedang membayar pesanan. Dalam hati Jaiz mengakui jika gadis itu cantik. Namun tidak ada waktu untuknya sekadar basa-basi berkenalan dengannya. Jaiz harus segera pulang karena sejak tadi kakaknya sudah meneleponnya terus.

Sampai di rumah Jaiz mengomel-ngomel, "Gue enggak mau lagi kalau disuruh beli roti bakar di sana. Ngantri parah. Abang saja."

"Baru gitu saja sudah ngomel-ngomel. Cemen, Lo," ucap Mahardika yang dihadiahi lemparan jaket Jaiz.

Jaiz sudah mau meluruskan pinggangnya yang pegal dengan rebahan di kursi depan TV, ketika kakaknya itu berbicara dan membuatnya mengurungkan niat untuk bersantai.

"Loh, Iz. Kok lo beli bukan yang keju susu? Duitnya kurang?" tanya Mahardika.

"Enggak. Itu sudah bener. Tadi bilang ke si abang yang jual kalau satu coklat stoberi susu. Sau lagi yang keju susu." Jaiz berjalan menghampiri kakaknya yang berada di meja makan. Ia ingin memastikan jika ucapannya benar.

"Lo lihat saja sendiri," ujar Mahardika, menggeser dua kotak roti bakar yang sudah terbuka.

Jaiz meneliti isi kedua kotak tersebut. Alisnya berkerut. "Kok malah coklat? Keju susunya mana?" ujarnya sambil membolak-balikkan kotak roti bersisi roti bakar tersebut.

Mahardika menggeleng. "Jangan tanya gue. Lo yang beli."

"Enggak bener nih," ujar Jaiz, bibir mengerucut. "Rugi gue."

"Apanya yang rugi?" Tiba-tiba ibunya datang menghampiri. Jangan tanyakan apa yang terjadi setelah ini. Jaiz dan Mahardika berdebat karena roti bakar yang tertukar, Jaiz bersikeras untuk menukarkan kembali makanan yang dibelinya. Sementara kakaknya tetap akan memakannya. Dan ibunya hanya diam sebagai penonton.

I'm In Love Where stories live. Discover now