2. Bertemu Naya

42 3 0
                                    

“Lo mau ke mana?” tanya Mahardika. 

“Beli roti bakar,” jawab Jaiz, sembari memakai jaketnya. Ia sudah siap berangkat menuju lapak jualannya Bang Ruslan. Padahal ia tidak harus buru-buru karena pesannya sudah disampaikan lewat pesan singkat tadi sore.

Mahardika bersedekap. Menatapnya dari atas ke bawah. Jaiz hanya diam. Ia tahu jika kakaknya ini sedang mencurigainya. Karena sudah hampir seminggu ini tiap malam ia keluar untuk membeli roti bakar.

“Gue curiga kalau Lo itu sebenarnya bukan cuma beli roti bakar. Pasti ada udang di balik bakwan, kan?” tuduh Mahardika.

Jaiz tidak memperdulikan ucapan kakaknya ini. Ia melenggang menuju pintu keluar. Namun, belum juga sampai di sana, langkahnya dicegat bapaknya. Ia pun berhenti dan menunggu apa yang akan disampaikan Pak RT ini.

“Kamu mau beli roti bakar lagi?” tanya bapaknya.
Jaiz mengangguk.

“Ganti. Bapak bosen makan it uterus. Coba kamu lihat di kulkas masih ada sisa yang kemarin. Eh, yang tempo hari juga masih ada. Siapa yang mau makan kalau kamu beli itu terus?” protes bapaknya.

“Kasih ke anak kosan saja,” ujar Jaiz.

Satu geplakan di kepala, Jaiz terima. Siapa lagi pelakunya jika bukan Mahardika. Kakaknya itu tampak kesal dengan ucapannya. Terlihat jelas dari matanya yang menatap tajam Jaiz.

“Sudah kebanyakan duit, Lo?” Mahardika mendorong tubuh Jaiz sehingga ia bisa lewat keluar dari pintu.

“Dengerin kakak kamu. Mending duitnya kamu tabung buat benerin tuh motor. Suaranya sudah enggak enak. Joknya juga harus diganti. Gara-gara kucing tetangga yang senang banget nyakarin di sana.” Bapaknya berjalan meninggalkan Jaiz.

Mendengar ucapan bapaknya membuat Jaiz tertegun sejenak. Namun tak urung ia keluar dari rumah. Tujuannya berganti. Ia menuju kosan. Iya kosan milik keluarganya. Bangunan  lantai dua itu tepat berada di depan rumahnya.

Dari luar gerbang, Jaiz sudah melihat Mahardika sedang mengobrol dengan beberapa orang penghuni kosan. Ia melewati kakaknya itu dan terus berjalan menuju kamar di lantai satu tempat teman mabarnya berada.

Langkah kaki Jaiz terhenti di depan pintu berwarna cokelat tua. Sedikit berbeda dengan pintu lainnya kerena memakai sistem kunci sidik jari. Sebenarnya bukan kamar yang istimewa, tapi yang menempatinya merombak sendiri. Rangga meminta izin untuk mengubah kamarnya sesuai dengan keinginannya pada ibunya Jaiz, Ia juga menyewa dua kamar sekaligus.

Jaiz sampai sekarang masih tidak mengerti, kenapa orang sekaya Rangga malah ngekos di tempat seperti ini? Padahal temannya itu bisa saja menempati apartemen mewah atau sejenisnya. Bukan tinggal di daerah perkampungan.

Untuk masuk ke dalam kamar, Jaiz tidak perlu mengetuk pintu melainkan langsung memasukkan kode pada gagang pintu. Tentu saja ia dapatkan dari Rangga.

“Iz. Gue habis top up, nih,” sambut Rangga ketika Jaiz masuk. Temannya itu melambaikan tangan. Seolah memberi isyarat agar Jaiz segera mendekatinya yang sedang duduk depan komputer. “Mabarlah kita. Buruan,” ujarnya lagi.

Jaiz tidak menuruti ajakan Rangga. Ia duduk di karpet dekat tempat tidur. Kakinya ditekuk. Sementara tangannya berada di atas lutut. Tentu saja hal ini sudah berhasil membuat temannya heran.

“Kenapa lo?” tanya Rangga yang langsung mendekatinya.

“Anterin gue ke tempat bang Ruslan,” pinta Jaiz.

Rangga yang masih berdiri di depannya mengerutkan kening. “Siapa dia?” tanyanya.

Jaiz mendongak. Menatap wajah temannya penuh harap. “Penjual roti bakar yang dekat kampus lo,” jawabnya.

I'm In Love Where stories live. Discover now