#2...ke sisi Tuhan?

521 89 2
                                    

Jiwa jomblo ku meronta-ronta
Jadi mari bumbui cerita ini dengan sedikit romansa...
....
....

Dikta selalu punya banyak cara untuk lari dari keluarganya dengan beragam taktik dan tipu muslihat yang diolah sederhana di otak kecilnya. Saking sederhananya sampai-sampai semua tindakannya hanyalah bentuk spontanitas semata.

Kalau kata orang-orang, Dikta Praja itu 'bertindak duluan mikirnya belakangan'. Jadi kalau sudah terjebak masalah dia kelimpungan mencari solusinya.

Seperti sekarang ini. Tadi begitu bangun dia masih di rumah sakit. Ada Jey yang menjaganya. Tapi lelaki itu tengah tertidur.

Dikta dengan otak cerdasnya segera bertindak. Begitu saja tanpa ba-bi-bu langsung melesat pergi. Tapi begitu sampai di depan rumah sakit, dia linglung.

Saku Dikta kosong. Tidak ada uang untuk biaya perjalanan. Juga tak ada ponsel untuk mengirim sinyal darurat pada sohib sehidup sematinya. Dia kebingungan. Tak sempat menyiapkan rencana antisipasi.

Dan selagi memeras otaknya untuk berpikir lebih keras, seseorang sudah menarik kerah belakangnya. Ah.. lagi-lagi diringkus satpol PP, pikirnya.

"Mau kemana Dikta Praja?" Tanya Pram dengan nada rendah. Matanya terlihat mengancam.

"Beli mie, laper."

"Emang ada duit?"

Mulut Dikta mengatup. Dia perlahan menunduk menatap kakinya yang bahkan tak beralas. Ah, Dikta lupa pakai sendal. Akibat terlalu panik bakal ketemu ayahnya lagi membuat dia tak bisa berpikir jernih. Ya walau biasanya dia gak pemikir amat juga.

"Tapi bang, benaran laper." Ujarnya begitu menyadari perutnya bergemuruh. Dikta jadi beneran pengen makan mie kan sekarang.

"Balik ke dalam."

"Lo kok disini bang? Gak kerja?"

"Cuti." Jawab Pram singkat sembari membawa adiknya kembali ke ruang rawat. Begitu sampai bisa dibayangkan bagaimana Jey mengomelinya habis-habisan.

"Bisa gak sih lo tuh anteng sehariiii aja. Istirahatin itu tubuh. Gak capek emang gue omelin mulu? Nurut napa, Dikta!"

Dikta merengut. Tak urung duduk di kursi di samping ranjang setelah mendorong Jey hingga terbaring disana.

"Gantian bang. Lo yang sakit sekarang, jangan gue mulu."

"Heh!"

"Apaan dah?" Galan menyembul di pintu. Dia melangkah masuk menghampiri Dikta yang malah lagi makan apel dengan santainya. Padahal Jey udah ngamuk gitu.

"Suara lo kedengaran sampe keluar Jey. Heran, toa bener."

"Bilangin tuh adek lo! Sekali-kali marahin kek, gak dimanjain mulu. Ngelunjak dia, ngelunjak!"

Galan terkekeh pelan, "Siapa yang manjain sih." Lalu dia menarik kuping Dikta dengan main-main. "Nih gue marahin nih."

Yang kupingnya ditarik malah ketawa. Membuat Jey mendengus masam. Dia putuskan untuk meninggalkan Dikta pada Galan. Jey capek!

"Tadi gue papasan sama Pram. Katanya lo kabur?"

"Baru mau. Gak sempat kejadian. Gue gak punya sekutu."

Enteng banget jawabnya. Galan ketawa saja menanggapi. Pantas saja Jey misuh-misuh tadi. Adiknya berulah lagi. Lalu perlahan tawa Galan memudar dan sempurna menghilang. Dia duduk tepat di hadapan Dikta. Memastikan anak itu melihat dengan benar ekspresi seriusnya.

"Hari ini lo harus pulang. Gue sama Pram udah capek-capek ngurus izin cuti bukan cuman buat liat lo kabur-kaburan. Paham?"

Dikta terdiam. Ia menatap apel yang sudah ia makan setengah dengan tak selera. Lalu dia diletakkan buah itu ke tangan Galan. Maniknya naik bertemu pandang dengan sang kakak.

Just a little bit crazyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon