51. Burn to The Ashes

27K 3.2K 303
                                    

FINAL PHASE IS HERE! WHO'S READY?

p.s. Ada  part yang seharusnya di bab sebelumnya tapi kena kasus nggak tersimpan lagi. Aku selip di sini ya. Anggap aja ini bab kemarin. Cuma beberapa baris padahal. huh

*

"Oke, sebelum kita mulai mau mencari cara yang seperti apa, let's vote!" Gayatri berucap tiba-tiba

Seluruh isi ruangan memandang Gayatri yang kini sudah duduk tegak. Tarikan napas berat terdengar.

"Eveyone has to vote except Wira, ya!" jelas Gayatri lagi. "Mbak Salsa juga!"

Sontak, Wira mendelik. "Kok gitu!?"

"Memang yang bermasalah kan nggak boleh vote!" timpal Ramdan menerangkan ulang peraturan permusyawarahan dari persepupuan ini.

"Dari dulu gue nggak pernah dapet kesempatan vote!" sungut Wira.

Ketika dulu kakak-kakaknya bermasalah, Wira tidak boleh menyumbang suara karena dianggap masih kecil. Kini, ia tidak boleh menyumbang suara karena dirinya yang terlibat.

Darma berdeham pelan. Ia memandang adik-adiknya. "So, let's take a vote! Siapa yang setuju Wira menikah dengan Stefani?"

Hening. Tidak ada yang mengangkat tangan. Darma menghitung hingga lima. Menunggu jika ada yang berubah pikiran.

"So, we are all in unison?" Darma terkekeh kecil. "Arjuna?"

Arjuna mendongak. Ia memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas dan mengangguk.

Darma tersenyum miring melihatnya. Ia mengangkat satu bahunya. "Alright then, time to work our ass off." 

*

Wira memandang foto yang dikirimkan padanya beberapa menit lalu. Lia mengirimkan foto makanan paginya hari ini dengan tulisan miss you pada tajuk fotonya. Senyum terkembang berikut perih yang menyesakan dada. 

Ia merindukan Lia. Amat rindu. Baru tiga hari, tetapi, rasanya seperti berbulan-bulan. Wira masih dilanda ketakutan. Ia sama sekali tidak bisa terlelap dan terjaga setiap malamnya. Kalau bukan karena obat, ia bahkan tidak bisa beristirahat karena terus dihantui berbagai macam pikiran yang berlebihan.

Sebagai upaya antisipasi, Darma memboyong Wira ke rumahnya. Jelas, Wira protes. Menurutnya, ia bisa menghadapinya sendiri. Tetapi buat Darma, seseorang dengan penyakit mental tak ubahnya seperti anak kecil. Setidaknya, Wira bisa diawasi sampai waktu yang tidak ditentukan.

Tangan Wira mengetik. "I miss you too, Babe." di layar dan mengirimkan pesan balik pada Lia.

"Kamu kerja yang bener. Jangan terlalu kepikiran. You are good enough. You are a great leader, indeed. Time Tales sudah mulai menanjak, jangan sampai jatuh karena kamu nggak fokus."

Kalimat itu seperti wejangan yang terdengar menyebalkan. Tetapi, Wira selalu tahu, jauh di lubuk hati Lia, perempuan itu sama pedulinya dengan Time Tales.

Wira memberikan tanda jempol lalu mengantongi gawai itu di celana sambil berjalan santai di lorong ke arah ruangannya. Beberapa pasang mata tampak mengarah ke arahnya. Walau mereka tak secara langsung melemparkan kalimat di depan wajah Wira, Wira tahu betapa penasarannya para sekretaris yang duduk di depan ruangan kakak-kakaknya masing-masing.

Senyum kecil mengembang di wajah Aisha, perempuan berdarah Arab-Jawa yang menjadi sekretaris Wira selama setahun terakhir. Ia terlihat kikuk. Mungkin, karena video kemarin.

"Pagi, Pak," sapanya gugup.

Wira mengangguk sambil membuka pintu. Namun, matanya membeliak melihat siapa yang berada di dalam ruangan itu. Alasan Aisha tersenyum kikuk bukan karena video itu, tetapi karena seseorang di dalam ruangan Wira saat ini. Tubuh itu menghadap ke arah jendela yang menampilkan jalanan Sudirman yang semrawut. Tetapi, Wira langsung tahu siapa orang itu.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang