Page 3

9 2 0
                                    

.
.
.

Ada yang bilang, waktu akan menumbuhkan rasa sayang. Dan mungkin, Hyouma harus akui itu benar. Setiap tiga hari sekali ia mengunjungi ladang bunga, berjalan menyusuri tapak yang tak seharusnya ia lewati. Ia rela menghabiskan waktu untuk menunggu kedatangan yang dinantinya, meskipun terkadang merasa kesal karena ia tak bisa menanti terlalu lama.

Ia teringat akan kisah yang ditulis oleh seorang penulis yang sudah ia lupakan namanya. Buku usang itu dibacanya beberapa tahun silam, tergeletak begitu saja di jalan setapak yang biasa ia susuri, dibawa pulang olehnya.

"Jantung berdebar-debar, pipi menghangat, tak bisa mengalihkan pandangan, perut terasa mual seolah ada kupu-kupu yang beterbangan, dan bahkan dunia terasa berwarna seperti datangnya musim semi. Kondisi itu menandakan bahwa seseorang telah jatuh cinta ..."

Helaan napas lolos dari bibirnya.

Hyouma menatap langit biru dengan santai, tertidur di atas rumput sebagai alasnya. Iris merah miliknya bergulir, memperhatikan awan yang bergerak ke sana ke mari. Walau para hewan di sekitarnya tahu bahwa sang lelaki tengah melamunkan seseorang yang mereka kenal. Pemuda berambut merah panjang itu berharap agar dapat bertemu denganmu, lagi. Namun, akhir-akhir ini, waktu yang dihabiskan bersamamu terasa sangat singkat baginya.

Chigiri Hyouma merasa bisa gila jika berlanjut seperti ini terus.

Ia memejamkan mata, berpikir keras.

Saat terbersit sebuah ide di kepalanya, Hyouma sontak bangkit dan malah mengaduh kesakitan.

Sosok bertudung merah tersebut melotot tatkala merasakan nyeri hebat di kepalanya. Ada sesuatu yang keras bertemu di dahinya. Hyouma hendak mengomel jikalau tak tersadar, mendapati dirimu yang juga ikut memegang dahi. Senyum tipis ia ulas, terkekeh pelan meski sedikit air mata telah lolos sembari berujar, "Kenapa kau selalu mengendap-endap begitu tiap bertemu denganku, huh?"

"Aku ..."

Agar aku selalu bisa melindungimu dalam diam.

Kau yang penakut.

Dan Hyouma yang cerdik.

Bagaimana mungkin dapat melindunginya dengan keadaan seperti itu? Takdir sungguhlah kejam.

Tapi, lidahmu kelu. Entah karena merasa malu, takut, enggan, atau bahkan perasaan lain yang tak dapat kau deskripsikan. Kau tak mampu melanjutkan, terbisu dalam diam. Hyouma berasumsi bahwa kau masih merasa kesakitan, maka ia tak menanyakan lebih jauh lagi, hanya mengendikkan bahu sebagai respon.

Kini, kalian berdua duduk, membelakangi satu sama lain. Saat orang lain akan berhadapan ketika mengobrol, kau mendapati posisi seperti ini lebih nyaman, merasa mampu untuk cukup terbuka dengan sosok yang berbeda ras. Tetapi, Hyouma yakin kalau berbincang bersamamu seraya menatap satu sama lain akan jauh lebih menyenangkan.

"Kau sibuk membayangkan apa, tadi?" tanyamu tanpa melihat wajahnya, menyela keheningan di antara kalian berdua.

Hyouma tersenyum, menarik sudut bibirnya dan memejamkan mata. Ia menikmati buaian angin sepoi-sepoi yang selalu menemani suasana khusus kalian berdua. Lantas, ia menjawab dengan kikikan geli, "TidakーAh, apa akhirnya kau menaruh perhatian padaku?"

Kau tersentak, mengerutkan dahi, tidak menyukai jawabannya. Entah karena pengaruh tidak benar atau memang tepat sasaran, sehingga membuatmu denial untuk mengakuinya. Irismu bergulir, memperhatikan bunga warna-warni guna mengalihkan perhatian.

Mendapati responmu yang lucu, pemuda berambut merah itu tak melepaskan senyumannya. Malah, ekspresi bahagia tersebut kian melebar.

Ia percaya bahwa perasaan yang kini tengah dirasakan adalah cinta.

Sama seperti waktu dirinya jatuh pada pesona berlari, membuat hatinya berdetak cepat dan penuh antusiasme. Namun, ada sesuatu yang bertambah, sebuah rasa manis juga pahit.

"Kau percaya dengan keajaiban, [Name]?" tanya Hyouma, kini ia yang membuka obrolan.

Jika boleh jujur, ia tak ingin berhenti mendengar suaramu. Percakapan tak boleh berhenti dan semua ekspresi yang kau buat harus dilihat olehnya, terutama bahagia. Hanya harapan kecil itulah yang Hyouma panjatkan, berusaha untuk membuat hati kecilmu sembuh, lalu menerima dirinya sebagai manusia.

Apa pun itu.

"Tidak."

Jawaban yang kau lontarkan, membuatnya menghela napas. Hyouma bukanlah sosok penyabar, tetapi khusus untukmu, ia mengesampingkan seluruh egonya, "Baiklah kalau begitu, aku menunggu saat itu akan tiba."

Chigiri Hyouma bangkit, menepuk-nepuk tudung merah beserta pakaian kasual yang ia kenakan, mengangkat kembali keranjang miliknya.

"H-huh? Memangnya saat seperti apa?"

Gantian dirimu yang bertanya, kebingungan sekaligus merasa tertarik akan pernyataan yang Hyouma ucapkan. Kau menoleh, mencoba untuk melihat ke arah belakang. Di sana, kau mendapati sorot mata yang nampak sedih dan kecewa, meskipun terulas senyum di wajahnya.

Apa ini? Apa baru saja kau membuat kesalahan?

Irismu membulat tatkala menemukan ekspresi miliknya tersebut, menyadari sesuatu.

Oh, tidak, bukan begitu.

Tak seharusnya begini.

Sejak awal, pertemuan ini adalah sebuah kesalahan. Benang merah yang mulai terjalin hanya akan berujung kepada tiga pilihan; yang pertama adalah lurus dan terikat, kedua itu kusut, dan terakhir tak lain dan tak bukan pasti berakhir putus.

Semuanya bermula dari ketidaksengajaan, kau yang menemukan warna merah pekat muncul dari semak-semak dan dirinya yang terpicu oleh rasa keingintahuan akan bayangan hitam dari hutan. Semakin lama, semakin ingin bertemu, namun tidak mungkin. Dengan segala hal yang telah ditentukan sejak lahir, manusia dan serigala tak akan pernah bisa berteman. Semua itu hanya akan tetap berakhir dengan kau yang sebagai serigala dan Hyouma sebagai manusia bertudung merah.

"Hentikan. Kau adalah manusia."

Mulutmu kembali membuka, rasanya tercekat. Keringat dingin mengalir, "Kisah berbeda ras selalu berakhir pahit, asal kau tahu saja .... Kita tidak akan pernah bisa bersatu. Kau adalah manusia dan aku serigala yang dibenci oleh warga."

Kau bergumam ketika menyadari arti dari sorot mata pemuda itu. Ia pemberani, selalu berjalan di jalan setapak tempat dirimu bermain agar dapat menemuimu. Sementara kau, menunggu, membiarkannya datang kepadamu. Padahal, kalau dipikir, harusnya dengan segala pengabaian yang kau lakukan, ia akan segera menyerah. Kenapa malah berakhir seperti ini?

Ini adalah yang terakhir.

Chigiri Hyouma harus benar-benar melepasmu, sebelum mengulang kembali insiden, kehadiranmu adalah malapetaka bagi para manusia. Dan kau, tentunya, tak ingin hal itu terjadi pada sosok yang telah baik padamu tersebut.

"Hm, memang benar. Kisah-kisah itu selalu ditulis dengan tragedi. Tapi, bukannya aku pernah bilang bahwa aku tidak akan membiarkannya? Tidak, aku tidak akan tunduk pada takdir yang diberikan begitu saja padaku, apalagi sampai melepasmu, [Name]," ujarnya seraya memicingkan mata. Entah hanya perasaanmu saja atau memang iris merah miliknya tersebut, sekilas nampak merah menyala, terasa cukup dingin dan menusuk.

Lagi-lagi, hanya hutan sekitar yang menjadi saksi atas momen kehadiran kalian berdua.

Mendengar pernyataan yang kuat itu, kau menghela napas. Bukannya kau tidak mengerti akan perasaannya. Meski sedikit berbeda, kau juga ingin mengobrol dan menghabiskan waktu lebih dengannya. Tetapi, ego itu harus diturunkan. Egois adalah salah satu kenikmatan dunia dan kau tak bisa bersikeras melakukannya, kecuali jika ingin menyakiti para manusia. Lantas, kau menunduk sembari membalas, "Baiklah, lakukan sesukamu. Kalau sesuatu yang buruk terjadi, aku tidak mau ikut campur."

Hyouma terkekeh. Sudah beberapa minggu ini, ia berdedikasi untuk menarik perhatianmu. Kalau ia kalah di sini, ke mana harga dirinya akan pergi? Apakah ia akan menyerah begitu saja?

Jawabannya adalah tidak.

Meski Tuhan menginterupsi sekali pun, Chigiri Hyouma akan melawannya. Menyukai sesuatu yang berbeda darimu bukanlah kutukan, melainkan sebuah kebahagiaan. Jika bukan karenamu, maka Hyouma tak akan pernah merasakan kehangatan yang berada di dalam dadanya saat ini. Semua perasaan bercampur aduk, dan lelaki itu senang karena kau adalah orangnya.

Thread of the Spring ⇢ Chigiri Hyouma × Reader [✓]Where stories live. Discover now