Episode 13

8 2 0
                                    

Maaf banget semalem gak update, ketiduran😭. Jadi aku update subuh.
.
.
.
SELAMAT MEMBACA!

•••

H-3 Hari Pernikahan

“Tugas makalah kemarin nanti dikumpulkan ke penanggung jawab matkul saya terus tolong bawakan ke kantor, paham? Sekian, assalamualaikum.” Pak Rudi menutup mata kuliah siang ini dengan salam. Satu persatu orang menghampiri tempat dudukku untuk mengumpulkan tugas.

“Shir, bantuin gue bawa ini dong.” Pintaku pada Shiren yang duduk di sebelahku. Bisa saja sebenarnya aku membawa sendiri tapi badanku belum kuat sempurna setelah dilanda demam selama empat hari. Shiren yang ku mintai tolong malah kalang kabut ditempat.

“Sorry banget Rin, gue kebelet pengen ke toilet. Minta tolong ke yang lain dulu ya!” Ucapnya cepat dan lari begitu saja keluar kelas. Orang lain mana yang bisa ku mintai tolong, kelas sudah kosong tidak ada orang.

Dengan sekuat tenaga aku membawa setumpuk makalah ke kantor Pak Rudi. Beruntung sekali kantor beliau satu lantai dengan kelasku.

Aku berjalan di lorong lantai dua dengan perlahan. Sambil sesekali membenarkan tumpukan makalah yang melorot. Seharusnya aku ijin satu hari lagi saja kalau begini jadinya.

“Tau gini gue masuk besok aja kan. Berat banget lagi kek beban hidup gue.” Monologku sendiri di lorong yang sepi.

“Butuh bantuan?” Suara bariton itu mengagetkanku hingga hampir terjatuh. Untung keseimbanganku sangat baik. Siapa biang kerok yang membuat orang hampir jantungan ini?

Aku menengok ke belakang ingin menasehatinya panjang lebar bahwa mengagetkan orang itu tidak baik untuk kesehatan jantung dan paru-paru. Menurutku saja itu. Tapi mataku terbelalak pada laki-laki yang berdiri diam di belakangku. Ali ternyata pelakunya.

“Ha? E-enggak, bisa kok sendiri.” Ucapku gugup dan perlahan berbalik hendak kabur dari hadapannya. ‘Kenapa ketemu biang kerok disini, sih?’

Tiba-tiba tangan kekar itu meraih setengah makalah bagian atas yang kubawa membuatku menahan nafas seketika. Ini terlalu dekat. Dan, jantungku berdentum sangat keras. Ini ketiga kalinya ia membuat jantungku dalam bahaya.

“Gak usah sok nolak bantuan kalau badannya masih lemes.” Ucapnya dingin sambil berlalu mendahuluiku. Aku tercengang dengan perkataannya barusan.

Itu berarti dirinya tahu kalau aku habis sakit, tapi dari mana? Shiren? Tidak mungkin anak itu tiba-tiba melapor padanya, bisa dipikir orang gila nanti. Aku berlari menyusul langkahnya yang sudah jauh beberapa meter.

“Kak Ali kok tahu gue habis sakit, darimana?” Tanyaku menyelidik. Bisa saja laki-laki itu menguping dari depan pintu rumahku.

“Gue gak sengaja lihat temen lo di apotek.” Teman? Oh, Shiren yang dia maksud. Sebab itu ternyata Shiren bisa berpapasan dengannya di lorong apartement.

“Oh, Shiren maksudnya.” Aku menatap sebentar laki-laki tinggi itu dari samping. Tentu saja tinggi sebagai kapten basket.

‘Good looking banget ternyata dari deket. Ini beneran orang yang mau jadi suami gue? Mimpi apa sih lo semalem, Rin?Aduh, gue ngapain sih.’

Aku segera sadar dari perbincangan tak berarti dengan otakku. Mataku melirik tangan kirinya menenteng sebuah map yang terlihat penuh. Ada urusan apa dirinya ke kampus, bukannya anak semester akhir sudah tidak ada jadwal perkuliahan lagi? Mulutku sudah terangkat ingin menanyakan hal itu tapi Ali sudah lebih dulu berbicara.

“Dibawa kemana ini makalahnya?” Tatapan kami beradu sepersekian detik sebelum aku sadar dan memutuskannya.

“Oh, ke- ke kantornya Pak Rudi.” Jawabku sambil tersenyum kikuk.

Husband Nextdoor (ON GOING)Where stories live. Discover now