15

11.9K 916 87
                                    

Hoek

Hoek

Keizaro berjongkok menghadap kloset, tubuhnya luruh tak peduli dengan lantai yang basah. Ia tak berdaya, rasanya seluruh isi perutnya akan keluar.

"Aish, sial ... apa aku akan mati." Keizaro menyandarkan tubuhnya pada tembok.

Seharusnya ia tak memaksakan diri buang air kecil di toilet umum, saat bau tak sedap menusuk penciumannya ia langsung merasa di serang bom sampai rasanya pening.

Dengan tangan bergetar ia menghubungi Ardan, ia tak bisa apa-apa sekarang terlalu lemas. Terlebih belanjaannya diluar banyak, ia rasa tak akan sanggup membawanya sendiri dalam keadaan seperti ini.

Panggilan di alihkan, sudah dua kali Keizaro menghubungi sang suami tetap saja, sulit. Keizaro mengutuk Ardan dalam hati, ia kesal. Orang kedua yang Keizaro hubungi Maria tapi nomer sang mertua tidak aktif, satu-satunya jalan terakhir adalah Ana. Lama menunggu panggilannya di angkat, akhirnya panggilan tersambung.

"Ada apa?"

"Ibu, bisa tolong aku?"

"Memangnya kenapa? Katakan, jangan bertele-tele,"

"Aku tak bisa berdiri di toilet umum karena lemas, tolong aku bu ... aku kirimkan lokasinya."

Keizaro langsung mematikan panggilannya, ia kirim lokasi tempatnya. Untung saja Ana mau membantunya.

________

Di sinilah Ana, menemani Keizaro yang tengah dokter periksa. Ana membawa Keizaro ke klinik terdekat, ia cukup khawatir dengan Keizaro yang tak berdaya dalam toilet.

"Apa putra saya salah makan atau kenapa dok?" Ana bertanya penuh khawatir. Khawatir akan hal yang tak ia inginkan, terlebih melihat kondisi Keizaro membuatnya semakin khawatir.

Suara yang sangat Keizaro rindukan, Keizaro lupa kapan hari Ana mengkhawatirkannya. Ia tersenyum tipis, mungkin benar Ana bukan tidak menyayanginya tapi karena kakaknya lebih membutuhkan sang ibu.

"Bu, aku rindu ibu yang seperti ini. Apa aku harus sakit, agar ibu menatapku lembut seperti ini terus?"

Keizaro menggigit bibir bawahnya, ia duduk di samping sang ibu setelah dokter memeriksanya.

"Ibu tenang saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan," sahut dokter. Ia melirik pada jari manis Keizaro yang melingkar cincin pernikahan.

"Itu hal biasa bagi submisif hamil, itu respon kepekaan terhadap bau atau makanan yang membuat penciuman sensitif dan berakhir mual-mual, terlebih putra ibu sepertinya terlalu kelelahan akhir-akhir ini, karena itulah daya tahan tubuhnya melemah." Dokter memberikan senyuman ramahnya. Ana melemas, benar saja apa yang ia khawatirkan terjadi, Keizaro hamil. Pikirannya berkelana pada Ayden, bagaimana jika Ayden tahu soal ini, ia sungguh mengkhawatirkan hal itu.

Dari semua penjelasan dokter yang meyangkut dalam otak Keizaro hanya kata 'hamil' ia seperti dipaksa berhenti berpikir saat mendengar kata itu.

"Selamat ya Tuan, saya ikut berbahagia."

Perkataan dokter merebut kembali kesadaran Keizaro, submisif itu tersenyum kaku, mengangguk menanggapi sang dokter.

"Saya minta jangan terlalu lelah dan banyak pikiran itu akan mempengaruhi janin," sambung dokter.

"Ya, terima kasih dok."

Setelah berterima kasih lalu Ana berpamitan, membawa Keizaro keluar. Yang dibawa hanya pasrah, terlalu tenggelam dalam lautan keterkejutan. Jika dipikir-pikir ia dan Ardan memang sering melakukannya tapi ia tak memikirkan akan sampai hamil.

"Ibu mau bicara sama kamu," ucap Ana.

Saat ini keduanya sudah berada dalam mobil. Ana menatap Keizaro yang juga menatapnya bingung.

"Jangan katakan soal ini pada Ardan," ucap Ana enteng membuat kening Keizaro mengerut.

"Bukankah aku harus mengatakannya?" sahut Keizaro.

Ana memutar bola matanya malas. "Patuhi saja, jangan katakan pada siapapun soal ini. Terlebih pada Ardan dan mertuamu, cukup kita saja yang tahu," tutur Ana.

"Kenapa begitu, ini anakku dan Ardan. Ardan harus tahu," sanggah Keizaro. Ia tak mengerti kenapa Ana melarangnya memberi tahu Ardan, Ardan suaminya Ardan juga akan menjadi ayah anaknya, lalu apa salahnya?

Ana menghadap Keizaro, memegang kedua bahu si empu.

"Jangan dulu, biarkan ini jadi rahasia. Bukankah Ardan juga belum memberi kepastian pada hubungan kalian, maksud ibu soal perasaan dia padamu. Bagaimana jika dia menolak bayi itu? Kau tak mau bukan?" jelas Ana.

Ia tak mau jika sampai Ardan tahu, maka ia akan memfokuskan dirinya lagi pada Keizaro padahal saat ini Ardan tengah bersama dengan Ayden, Ana tak mau sampai Ayden kembali bersedih.

Perkataan Ana membuat Keizaro menimang keputusannya, yang dikatakan Ana ada benarnya walau sedikit aneh, seharusnya Ana memberinya selamat atau antusias menyuruhnya memberi tahu Ardan, tapi ini malah sebaliknya. Ibunya seolah takut saat mendengar perkataan dokter tadi, apa mungkin ada sesuatu yang Ana sembunyikan darinya?

Ana membuang pandangannya saat Keizaro menelisik kedua matanya, meminta kejelasan atas ucapannya.

"Ibu senang, akhirnya akan memiliki cucu. Tapi ibu khawatir jika hal ini membuat hubungan kalian merenggeng, ibu tahu Ardan belum sepenuhnya menerima kamu, bukankah begitu?" ucap Ana, ia harus bisa meracuni otak Keizaro.

Ia tak mau rencananya kacau, ia berusaha mendekatkan Ardan dan Ayden dengan segala cara, ini masih awal jika sudah sedikit lama barulah Ardan boleh tahu. Jika menantunya tahu semua akan rumit.

"Patuhi saja ucapan ibu." Ana memberi peringatan.

Keizaro hanya mengangguk, walau ia masih bingung tetap saja sebagai anak dan ia belum pernah mengalami yang namanya hamil, ia lebih memilih saran Ana. Ana lebih banyak pengalaman darinya, orang tua lebih mengerti.

Ana membawa mobil dengan pikiran yang rumit, ia memikirkan Ayden yang mungkin dalam posisi sulit. Keizaro sudah sejauh ini.

"Ibu bagaimana kabar ayah?" tanya Keizaro tiba-tiba, membuat lamunan Ana buyar.

"Dia baik-baik saja," sahut Ana seadanya.

"Lalu Ayden?" ucap Keizaro. "Setelah kejadian malam itu aku belum bertemu dengannya lagi, aku ingin meminta maaf atas perbuatanku," sambungnya.

"Dia juga baik, kesehatannya stabil saat ini setelah drop waktu itu. Ayden juga tak sulit lagi jika kontrol rutinnya akhir-akhir ini," tutur Ana.

Keizaro kembali diam, Ana tahu banyak tentang Ayden. Apa Ana tahu juga tentangnya? Tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya atau bagaimana hari-harinya selama menjadi submisif yang sudah menikah, apa Ana tahu? Jika ia tak tahu kenapa ia tak bertanya, kenapa Ana tak bertanya tentangnya? Apa ibunya benar tak peduli, Keizaro menggeleng pelan. Ana peduli padanya, buktinya tadi Ana mengkhawatirkannya.

"Aku berharap kalian selalu bahagia bu, jika kalian bahagia aku juga akan mencari kebahagiaanku dalam pernikahan ini. Terima kasih pada semesta, yang sudah menitipkan anugerah besar padaku. Aku bahagia, dan aku akan menyimpannya seperti yang ibu katakan. Pada waktunya aku akan membagi kebahagiaan ini pada Ardan, suamiku."

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang