Bab 2: VVIP

10K 596 1
                                    

Operasi berjalan lancar. Sekitar 45 menit Sabila bersama dokter-dokter residensi menangani sang Kapten. Ia melangkah keluar, empat sekawan ternyata masih bergeming di depan pintu ruang operasi.

"Gimana dok?!" tanya mereka tak sabar.

"Lancar. Peluru berhasil dikeluarkan. Untungnya nggak ada organ yang kena, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Darah yang hilang juga nggak sebanyak yang saya kira, good job tadi yang neken lukanya." jelas Sabila.

Mereka membuang nafas penuh kelegaan, terutama si gadis yang tampak habis menangis.

"Makasih banyak ya Dok..." sahutnya sambil menggenggam tangan Sabila.

"Kan, udah gua bilang Syar, abang lo itu butuh tiga malaikat pencabut nyawa, baru bisa mati." sahut si blasteran sambil terkekeh.

"Kak Paul! Sekali lagi lo ngomong gitu, gua gampar beneran!" balasnya galak.

"Iya deh... ampun Syarla. Dok, kapan kita bisa jengukin Renner?" tanya Paul.

"Hm ini nunggu sadar anestesi, mungkin 2 jam lagi. Sekalian dipindah ke kamar rawat inap ya." jelas Sabila.

"Oke, kalau gitu kami akan kembali sekitar dua jam lagi. Oiya Dok, apa Dokter juga kepala IGD disini? Ada yang harus kami bicarakan dengan dokter." tanyanya lagi.

"Iya, kebetulan saya yang bertanggung jawab untuk unit IGD. Ada apa?"

Paul memberikan pandangannya ke lelaki kurus yang masih duduk, mendongakkan kepalanya sedikit, dan mengisyaratkan mereka agar menepi ke koridor lain. Sabila tampak bingung, tapi menuruti kode-kode aneh ini.

Sampailah mereka bertiga di koridor yang lebih sepi, pun sebenarnya keadaan RS malam ini sudah sepi.

"Jadi gini Dok, saya Iqbal, ini Paul. Yang cewek tadi Syarla, satunya Danil. Kapten kami, namanya Renner. Kami semua ini, tim khusus kepolisian." Iqbal bicara dengan serius.

"Oke? Terus?" tanya Sabila, masih tak mengerti kenapa mereka harus bicara setengah berbisik.

"Operasi yang bikin kapten kami tertembak itu, sebenarnya operasi rahasia. Saya nggak tau gimana prosedur di RS sini, tapi jangan sampai ada yang tau bahwa Dokter menangani korban penembakan." jawab Iqbal.

"Maksudnya kalian semua polisi menyamar?" telisik Sabila.

"Bukan," sahut Paul, "Gimana ya jelasinnya. Intinya, nggak apa-apa kalau kalian tau kami semua polisi, asal jangan pada tau kalau Kapten kami ditembak."

"Agak panjang ceritanya, tapi intinya kami mohon kalau detail penyakit kapten kami disembunyikan." lanjut Iqbal lagi.

"Jadi kalo bisa, dokter terus yang nanganin Kapten sampe sembuh.. Paling berapa hari kan? Tiga hari?" tanya Paul.

Sabila mengerenyitkan dahi, sejujurnya, ini kasus penembakan pertama yang pernah ia tangani.

"Tiga hari?! Jangan ngada-ngada...semua harus dilihat dari seberapa cepat Kapten kalian recovery. Lagian, kenapa nggak dipindah ke RS Polri aja?" tanya Sabila.

"Ya makin susah dong kami merahasiakannya. Ketauan atasan langsung kalo kita pindah ke RS Polri." lanjut Iqbal lagi.

"Oh...iya, iya. Saya masih bingung ini rahasianya apa dan dari siapa." Sabila menggaruk kepalanya.

"Iya, memang agak rumit. Tapi intinya, kalo bisa, nggak ada yang tahu kalo terjadi penembakan. Apalagi korbannya kapten kami. Saya jamin, besok juga gak ada di berita tentang tembak menembak di Rawamangun. Staff IGD yang nanganin tadi, tolong di brief untuk merahasiakan ini. Staff lain, nggak perlu tau kapten saya kenapa." jelas Paul.

"Oke. Intinya, nggak ada peluru. Tapi saya ini spesialis emergensi medis, biasanya saya oper ke spesialis lain kalau udah tertangani masa kritisnya."

Paul dan Iqbal saling berpandangan. "Jadi dokter nggak nanganin pasien rawat inap?"

"Biasanya sih enggak."

"Nggak bisa pengecualian kah?" tanya mereka lagi.

Sabila berpikir, kemudian menjawab, "Kalau kalian mau ambil kelas VVIP, itu no questions asked. Bisa milih dokter sesukanya."

"Oke. Kita pake cara itu aja." jawab Iqbal cepat, Sabila mengangguk.

"Wih. Kapten sok ngartis banget nih, dapet treatment VVIP." sahut Paul.

"Mending lu mikir cara beresin operasi gagal lu itu sebelum dia bangun ngomelin lu." timpal Iqbal yang dibarengi dengan helaan nafas berat Paul.

Two Worlds Colliding [End]Where stories live. Discover now