Bab 48: Tipping Point

6.3K 598 31
                                    

Pikiran Renner masih kalut karena pembicaraannya dengan Sabila. Biasanya, ia menjadikan Paul untuk menjadi tempat curhat, tapi karena Paul tidak tahu duduk perkara mengenai botol Oxy di tasnya, jadilah ia menghubungi Danil.

Di teras rumahnya, Danil sudah siap menyapa, "Kenapa lu, Ren? Tumben kesini."

Renner mengangkat bahu, mendudukkan diri di kursi teras Danil dan menyalakan rokoknya. Danil pun mengikuti.

"Barusan dari rumah Sabila. Dia beresin tas gue. Eh, nemu sisaan botol Oxy buat Sam waktu dulu itu." cerita Renner.

"Yah. Terus?"

"Gue jelasin buat kerjaan. Tapi kan prescription-nya atas nama gua. Gak taulah, pusing. Masa gua jawab 'iya itu aku supply barang unofficial buat misi undercover-nya Sam'?" keluhnya.

Danil menghela nafas, "Berat, bro. Hidup tanpa rahasia aja berat, gimana elu."

Danil terdiam sebentar kemudian bertanya, "Tapi...Lu serius sama dia?"

"Ya...iya, lah." jawab Renner.

Danil sempat ragu dan menimbang apa yang harus ia katakan, tapi akhirnya ia melontarkan pendapatnya, "Kata gua jujur aja sih. Mending lo dipecat tapi hidup bareng Sabila apa lo punya kerjaan tapi hidup tanpa Sabila?"

Renner termenung. Ia tidak pernah berpikir demikian. Hubungannya dengan Sabila masih seumur jagung, belum genap tiga bulan. Meski tiga bulan yang sangat dramatis dan penuh roller coaster. Tapi, hubungan yang akan berlangsung selama-lamanya? Belum pernah terbayang sebelumnya, tapi ia tahu mereka harus cepat memutuskan sebelum keadaan tambah rumit.

"Tadi panjang lebar bahas itu, tapi ya, muter lagi di saling percaya. Susah buat dia percaya sama gue kalo gue gabisa cerita semua, Nil." jelas Renner.

Renner terdiam sebentar sebelum melanjutkan, "Apa gua keluar aja ya dari Tim Shadow? Kerja kayak normal aja di Bareskrim. Kelar urusan."

Danil menatapnya, "Tim Shadow kan yang bikin elu. Masa iya lo keluar."

"Yah, lo bisa kan take over." balas Renner enteng.

Danil yang terdiam kali ini. Tak ada kalimat balasan yang terbersit di otaknya.

"Gue tau sih yang lo pikirin apa. Gue memilih jadi melempem gini padahal awalnya gue sama Pak Dewa bentuk Tim Shadow supaya kita bisa perbaikin kinerja polisi. Dan empat tahun ke belakang, udah banyak banget kasus yang kita pecahin dan bangsat-bangsat yang kita tangkep. Dan sekarang gue mikir buat berhenti." sahut Renner, menatap kawannya yang masih terdiam itu.

"Heh- enggak ya. No judgement. Lo bikin Tim Shadow waktu dulu karena lo tuh no life, Ren. Hidup lu mentok di Paul sama Syarla aja. Itu pun mereka lo rekrut masuk tim. Jadi kalo sekarang lo punya prioritas hidup lain, gue ngerti kok. Gue seneng malah." ucap Danil, yakin, kali ini.

Hidup di luar pekerjaan. Batin Renner.

Selama ini, hidupnya hanya seputar kepolisian. Sosok Ayahnya, polisi. Adik kesayangannya, polisi. Sahabatnya, polisi. Mantan pacarnya, polisi juga. Sampai akhirnya ia bertemu Sabila. Apa mungkin ini jadi jalan hidupnya yang baru?

"Pelan-pelan aja, Ren. Lo berdua mesti diskusi tujuan hidup kalian apa. Gue yakin, sebenernya Sabila bakal ngerti kok. Kan dia dokter, sehari-hari nolongin orang juga. Kita nolongin dengan cara yang berbeda aja. Susah sih emang. Gue gak yakin juga gue bisa tahan punya pacar di luar polisi." ucap Danil, mencoba memberi Renner perspektif baru. 

Renner hanya membisu mendengar kata-kata Danil. Ia lalu menghabiskan batang rokoknya itu sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. 

⏳⏳⏳

Esok harinya, Renner berkunjung ke rumah Sabila, berusaha meluruskan percakapan mereka semalam. Sementara Sabila sore itu, masih terpecah fokusnya - mengkhawatirkan Sam, pekerjaannya yang kian hectic, dan juga hubungannya dengan Renner.

Two Worlds Colliding [End]Where stories live. Discover now