ii.

946 133 40
                                    

warning: content mature-explicit scene.

✿✿✿

Rasanya 3 bulan berlalu dalam sekejap mata. Saki mulai terbiasa dengan kehidupan di desa dan perkebunan, meski ia masih amat merindukan mall, cafe, dan tempat-tempat populer di kota. Teman-temannya masih sering menghubungi Saki melalui chat atau media sosial untuk sekadar bertukar kabar.

Tapi setidaknya kehadiran Haikal sedikit mengobati kesepian Saki. Meski Saki masih menganggap Haikal udik, tapi ia bisa melihat ketulusan Haikal saat mereka berbincang, atau saat Haikal memasang bantal pada jok motor bututnya agar Saki merasa lebih nyaman.

Saki juga belajar banyak hal tentang pertanian dari pengalaman yang diceritakan oleh Haikal atau pekerja lain di perkebunan. Bagaimana mereka merasa beruntung bisa bekerja kembali di perkebunan yang kini diambil alih oleh ayah Saki.

Mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan bagi Saki, kalau tindakan ayahnya ternyata bisa menyelamatkan hidup puluhan keluarga di Desa Mekarsari.

"Besok pagi mau ikut manen kayu manis nggak, Al?"

Haikal sedang membuat laporan upah para pekerja di rumah Saki. Saking seringnya ia datang, Pak Widyanata membuat kantor kecil di samping rumahnya yang akhirnya dipakai untuk para pekerja yang memang mengurusi administrasi, termasuk Haikal.

"Besok pagi jam berapa?"

"Jam 4 pagi."

"Gak makasih. Aku masih tidur jam segitu."

"Hehehe, saya nawarin aja barangkali kamu mau lihat sunrise juga."

"Bagus emangnya?"

"Ya nggak tahu sih, kalau saya yang lihat bagus, nggak tahu kalau dari mata kamu lihatnya jadi bagus atau biasa saja."

"Dih, aneh."

"Hahaha. Kalau mau ikut saya jemput ke sini naik motor."

"Emang jauh?"

"Iya, area di selatan agak jauh dari sini, 20 menitan naik motor."

"Liat besok deh."

Haikal benar-benar menjemput Saki 30 menit lebih awal saat suasana masih senyap dan gelap. Saki dibangunkan oleh pembantunya yang gugup bukan main. Saki bukan seseorang yang mudah dibangunkan di pagi hari, dan terkadang mood nya jadi jelek kalau dipaksa bangun.

"Mas Saki, ada Pak Haikal di luar. Katanya mau ngajak ke perkebunan."

Saki sebetulnya sudah bangun karena dering alarm di ponselnya, hanya saja ia masih sangat malas untuk bergerak dan ganti baju.

"Saki, itu ada Mas Haikal nungguin. Kamu jadi pergi apa enggak?" Akhirnya sang ibu datang untuk membangunkan Saki.

"Hummm.. Sebentar.."

Berat mengusir rasa malas dalam cuaca dingin seperti ini. Apalagi saat itu sudah mulai memasuki musim penghujan. Suhu di Desa Mekarsari bisa mencapai 12 derajat Celcius di waktu subuh. Saki akhirnya keluar dari dalam selimut hangatnya dan berganti pakaian.

Haikal tampil seperti biasa dengan kemeja kotak-kotak dan jaket jeans. Rambutnya sudah ditata sangat rapi seperti ia baru saja mandi meski cuaca begitu dingin. Saki sendiri memakai sweater abu-abu dengan beanie dan belum mandi sama sekali.

"Mau ke mana rapi amat Mas Ekal."

"Iya ya? Hehe. Saya gini terus setiap hari."

Saki jadi penasaran bagaimana penampilan Haikal ketika bangun pagi, karena Haikal yang sering ia temui adalah versi rapi seperti salesman yang akan menawarkan barang dagangan di dalam mall. Meski sesekali Saki bertemu Haikal versi kaus tanpa lengan dan membawa pacul. Saki tersenyum sendiri saat bayangan-bayangan penampilan Haikal muncul di benaknya.

Kayu ManisWhere stories live. Discover now