Pindahan

2 1 0
                                    

Dengan kasar ia membuka pintu rumah Hera dan melangkah masuk ke dalam dengan raut wajah penuh amarah.

Kemarahannya benar-benar diambang batas melihat Raden tengah merangkul tubuh Hera yang terlihat sangat tak nyaman dengannya.

Alta menarik kasar tangan Razen. Mendaratkan pukulan bertubi-tubi pada lelaki itu.

Hera yang melihat itu berusaha menghentikan Alta. "Alta stop, dia bisa mati!"ingatnya.

"Justru bagus, biar dia ga ganggu lagi."

"Jangan kotorin tangan kamu buat habisin orang brengsek kayak dia Ta. Aku ga suka."

Dengan dada yang bergerak naik turun Alta menghentikan pukulannya pada Razen. Hera menghampiri Alta, mengusap punggung lelaki itu guna menurunkan amarahnya.

"Aku gapapa Ta, kamu datang tepat waktu,"ucap Hera membuat Alta bernafas lega.

Razen bangkit. Mengusap darah di sudut bibirnya. Tubuhnya benar-benar terasa mati rasa akibat pukulan dari Alta. "Jadi lu pacar barunya Hera?"tanya Razen dengan raut datar.

Alta tersenyum bangga. "Iya, gue pacarnya Hera. Dan gue minta sama lu buat stop ganggu cewek gue, karena gue ga akan segan buat habisin lu kalo lu masih ganggu Hera lagi."

Razen tersenyum remeh. Rasanya mengelikan melihat Alta yang siap pasang badan untuk Hera. "Kayak pahlawan kesiangan aja lu. By the way, selamat menjadi pacar Hera yang baru. Kabarin gue kalo kalian udah putus, biar gue ambil balik Hera, oke?" Razen menepuk pundak Alta, berjalan keluar dari rumah Hera.

"Lu ga akan bisa ambil balik Hera, karena gue ga akan pernah lepasin Hera,"pekik Alta dengan tegas.

Razen menoleh, membalas ucapan Alta dengan senyum miringnya lalu benar-benar melangkah pergi meninggalkan rumah Hera.

Akhirnya setelah kepergian Razen, Hera bisa benafas dengan lega.

Alta memperhatikan Hera, memastikan perempuan itu baik-baik saja. "Ra, gapapa kan?"

Hera tersenyum tipis. Lalu memeluk tubuh Alta dan menangis. Ia benar-benar merasa takut saat melihat Razen. "Ta...gue ga tau kalo ga ada lu gimana, gue takut Ta. Razen ga pernah main-main sama ucapannya. Dia gila Ta."

Alta mematung. Ia bingung harus membalas pelukan Hera atau tidak. Otaknya tidak bisa berfikir.

Setelah puas menangis, Hera melepaskan pelukannya, beralih menatap Alta yang masih terdiam. "So-sorry Ta, gue reflek."

Hera menggaruk tengkuk nya yang tak gatal. Ia merasa malu sekaligus salah tingkah karena memeluk Alta. Benar-benar bodoh. Pasti Alta akan berfikiran macam-macam tentangnya.

Sementara Alta tidak bisa berfikir apa-apa. Yang ia rasakan hanya debaran jantungnya yang berdetak lebih cepat. Dirinya berdebar.

"Iy-iya gapapa. Gue maklumin buat kali ini."

"Ba-bagus deh. Gue juga cuman reflek kok, ga bermaksud buat cari kesempatan."

"Dan gue juga ga menerima kesempatan."

"Dasar. Ga usah kepedean ya, itu benaran reflek. Gue ga ada niatan sama sekali buat meluk lu, ga usah ge'er."

"Ga ada yang ge'er."

"Ya bagus deh. Tapi intinya gue beneran berterima kasih sama lu karena udah mau dateng. Gue ga tau lagi kalo lu ga dateng bakal gimana."

"Makanya kalo cari cowok tuh yang bener. Bukan cuman lu yang ribet, tapi orang lain juga."

Hera berdecih. "Jadi lu ga ikhlas tolongin gue? Kalo ga ikhlas ga usah dateng, biarin aja kalo nanti gue kenapa-kenapa, lu yang di introgasi karena lu orang yang terakhir gue hubungin."

Love and ContractWhere stories live. Discover now