Jeritan Dari Lantai Tiga

194 9 0
                                    

Cahya mengangguk. 

Dia sendiri sebelumnya tidak pernah berharap kalau akan disediakan pakaian juga di sini. Dan sangat menyenangkan mendengar kakak madu menawarkan hal seperti itu kepadanya. 

Artinya dia benar-benar sudah diterima, bukan?

Terlebih, ukuran kamar ini juga tiga kali lebih luas dibandingkan kamar lamanya, plus terdapat fasilitas mewah yang sebelumnya tidak pernah Cahya bayangkan bisa dinikmati olehnya.

Kamar mandi pribadi dengan bathtub dan shower. 

Penyejuk udara dan ranjang yang super besar. 

Juga lemari baju lima pintu yang tak tahu akan diisi apa saja nantinya. Pastinya itu akan muat banyak sekali dengan baju-baju baru yang lebih bagus daripada baju lama Cahya. 

"Cahya, Mbak tinggal dulu, ya. Kamu bisa istirahat atau beberes barang-barang bawaan kamu dulu sambil nunggu jam makan siang." 

Setelah memastikan semuanya terkondisi, Mery berpamitan kepada Cahya yang masih bengong di depan lemari besarnya.

"Iya, Mbak."

Sebelum Mery benar-benar keluar, wanita itu seperti teringat akan sesuatu dan kembali menoleh kepada Cahya. "Oh, ya. Mbak ada pesan buat kamu."

"Apa, Mbak?"

"Tolong, jangan pernah naik ke lantai tiga karena di sana adalah ruangan khusus untuk Mas Enggal. Para istri hanya bisa naik ke sana kalau memiliki jadwal untuk melayaninya."

Cahya mengangguk saja atas pesan yang disampaikan oleh Mery padanya. 

Lagian, dia juga bukan tipe orang yang suka penasaran dan kepo pada sesuatu. Cahya tidak akan pernah naik ke sana bahkan meskipun Mery tidak menyampaikan pesan itu padanya.

Setelah melewati waktu makan siang hingga sore di rumah baru bersama Mery dan Bu Darmi saja, pada jam makan malam, Cahya akhirnya bisa kembali bertemu dengan suaminya dan para istri yang lain di ruang makan.

Tidak ada satu pun orang di sana yang memperlihatkan gelagat murung atau tidak bahagia. 

Para istri semuanya ceria dan banyak bicara, menyisakan Cahya yang masih malu-malu dan canggung karena merasa kalau pemandangan seperti ini masih terlalu ironi.

Semua bayangan mengerikan yang sempat menghantui Cahya terkait hal-hal tak menyenangkan menjadi istri ketujuh perlahan lenyap oleh sikap para madu seniornya. 

Keramahan dan kehangatan mereka mampu mematahkan stereotip negatif terkait poligami yang selama ini berkembang di tengah masyarakat, dan dengan segera berhasil menghapus kecanggungan yang dirasakan oleh Cahya.

Jika di awal sesi, Cahya lebih banyak senyum-senyum saja menanggapi setiap celotehan kakak-kakak madunya, sekarang dia sudah mulai berani menimpali dan balas bercerita. Bahkan sesekali juga sempat mencuri pandang dan senyum malu-malu kepala Enggal yang hanya sesekali tersenyum simpul menanggapi celoteh istri-istrinya. 

Untuk sejenak, Cahya berpikir kalau menjadi istri ketujuh tidaklah terlalu buruk. 

Meskipun suaminya merupakan pria yang jauh lebih dewasa darinya dan juga sangat pendiam. 

Selain itu, berkat keramahan para kakak madunya itu jugalah, Cahya bisa mengesampingkan perasaan ganjil yang semenjak bakda asar tadi terus menggelitik tengkuk lehernya dan membangunkan bulu-bulu kuduk yang tumbuh di sana.

Cahya bukan tipe orang dengan kepekaan khusus terhadap hal-hal berbau mistis, tetapi hari ini, entah mengapa dia mendadak menjadi begitu sensitif.

Tak tahu apakah hanya perasaannya saja atau itu memang nyata adanya, Cahya secara kebetulan merasakan adanya sesuatu yang diam-diam mengawasi setiap gerak-geriknya di istana sang suami. 

Istri-Istri yang DikorbankanWhere stories live. Discover now