Prolog - Sudut Ibu kota dan penghuni nya

59 4 0
                                    

Tanggal 5 Juni, hari ulang tahun nya.

Seseorang perempuan melangkah keluar menuju bakery's home sambil menenteng sebuah paper bag berisi kue ulang tahun ukuran sedang. Dengan langkah santai nya, sesekali ia bersenandung ria. Membayangkan betapa indah nya weekend hanya bersama dengan diri nya sendiri.

Ia sudah berlangganan sejak masih kecil dengan toko roti itu. Dan pelayan di sana pun mengenal perempuan cantik itu dengan sangat baik.

Helaan nafas panjang yang terasa ringan baru saja ia hembuskan, bersamaan dengan tiba nya kendaraan umum yang sudah ia pesan melalui aplikasi sejak lima menit lalu.

Saat sudah masuk ke dalam mobil, supir mobil menyapa nya dengan ramah.

"Wah, mbak kelihatan bahagia sekali? Mau kemana ya?"

Perempuan satu satu nya yang menjadi lawan bicara itu terkekeh, "Ini hari lahir saya, Pak. Saya ingin berbahagia hari ini" jawab nya dengan sopan.

"Oh, begitu. Selamat hari lahir ya, semoga selalu bahagia dan sehat" ucap sang supir dengan tulus.

Seulas senyum manis terbit di wajah mungil perempuan itu, ia mengangguk, "Aamiin. Doa yang sama untuk Bapak sekeluarga juga".

"Ahh, anak istri saya sekarang di pulau yang jauh" sahut supir itu tiba tiba curhat.

Perempuan yang tentu menjadi lawan bicara, merasa sedikit tertarik dengan arah pembicaraan kali ini.

"Ahh, iya? Maaf saya kurang tahu"

"Haha, tidak papa. Banyak yang salah paham kalau saya cerita begini, terkadang"

Dahi nya mengerut kebingungan, "Maksud bapak?"

"Saya dan istri saya tidak bercerai. Tidak ada surat cerai di antara kami, hanya saja dia memilih tinggal terpisah dengan saya, dan anak saya"

Ahh, begitu..

Kisah yang sama dengan kisah kedua orang tua nya, rupanya.

Perempuan itu mengangguk angguk paham, lalu ia menolehkan pandangannya ke arah luar jendela mobil. Tepat melihat pada sebuah kafe minimalis langganan nya yang berada di sudut kota.

Ia tersenyum lagi.

"Pak, nanti stop nya di Kafe Braga itu saja ya" ucap nya sopan.

"Siap, mbak. Sekali lagi selamat ulang tahun ya"

°°°

Tring~

Denting lonceng pada kafe itu terdengar tepat saat diri nya membuka pintu kaca kafe. Kedua mata nya mengedar, mencari tempat yang sekira nya bisa ia pakai selama beberapa menit kedepan.

Untuk merayakan hari lahir nya, sendirian.

Setelah menemui barista cafe untuk memesan makanan cemilan, ia melangkah menuju meja yang sejak tadi sudah menjadi tujuannya.

Ia pun meletakkan paper bag berisi kue, serta tas yang ia pakai sejak tadi di atas meja. Tatapan nya mendadak kosong, kedua tangan nya padahal sudah sibuk membuka ponsel—hanya bolak balik galeri dan aplikasi menu saja.

Hari ini ia sedang bertambah usia, harusnya ia berbahagia kan? Harusnya ia senang.

Nyatanya ia bahkan tak bersemangat sama sekali. Tapi, pikiran nya menggerakkan perempuan itu untuk membuka tas dan mengambil sebuah buku berukuran sedang dan juga sebuah pulpen yang memang ia biasa bawa kemana pun ia pergi.

Tidak, bukan untuk menuliskan sebanyak apa pengeluaran nya hari ini.

Melainkan untuk beberapa patah kata yang akan ia tulis, lalu pada awal bulan akan ia kirim untuk sang ibu.

Ini yang kedua kali nya.

Ia tidak tahu. Apakah ibu kandung nya itu benar benar membaca setiap kata yang ia tulis? Atau dengan mudah nya mengabaikan begitu saja semua tulisan nya?

Entahlah, ia sendiri pun tak tahu. Tak ingin tahu dan tak mau menebak nebak juga.

Semesta selalu tahu bagaimana semua nya bekerja.

Seandainya di buang pun ia tak masalah, toh paket paket yang ia kirim selama ini tidak seberapa. Ia hanya ingin tali silaturahmi nya dengan sang ibu tidak terputus.

Tidak ada kata 'mantan anak' dan juga 'mantan orang tua' di dunia ini. Sekalipun kedua nya sudah terpisah jauh, dan tidak hidup bersama sama lagi.

Mama..

Apa kabar?..

Hanya itu yang ia sanggup tulis, setelah nya kedua mata nya berair. Basah untuk kesekian kali nya. Ia tidak pernah kuat jika itu berurusan dengan ibu nya.

Hubungan mereka mungkin tidak sebaik hubungan anak anak lain dengan ibu kandung mereka. Tapi, hati tidak bisa dibohongi.

Perasaan rindu itu tetap ada. Hanya saja, ia belum berani untuk komunikasi dengan tatap muka atau pun via chat atau telpon dengan sang ibu.

Hal yang sama juga terjadi saat ia rindu dengan ayahnya. Yang perempuan itu lakukan hanya dengan mengirimkan barang atau sesuatu yang ia beli untung sang ayah. Tanpa menyelipkan surat atau tulisan tangan apapun di dalam nya.

Padahal sudah dua tahun berlalu. Sejak kejadian itu, tapi memang.. perkara memaafkan itu bukan perkara yang mudah. Begitu juga dengan merelakan. Kita, sebagai manusia tidak pernah benar benar ikhlas dengan sesuatu, kita hanya terbiasa.

Terbiasa tidak bertemu, terbiasa dengan keadaan. Lalu, melupakan.

Kini, sebuah cake ulang tahun berukuran sedang berwarna merah muda itu sudah ada di meja milik nya. Bersamaan dengan datang nya makanan serta minuman yang ia pesan.

Lilin dengan angka 21 tahun pun menyala.

Ia memejamkan kedua matanya, bukan untuk berdoa. Tapi, flashback ke masa di mana diri nya masih bisa merayakan hari ulang tahun bersama orang yang ia sayangi.

"Selamat hari lahir ya, kesayangan mama"

"Happy birthday, Princess nya Papa"

Fyuh~

Lilin itu pun padam bersamaan dengan harapan yang sejak lama selalu ia langitkan.

Semoga ia tidak lama lama berada di bumi ini, semoga Tuhan berbaik hati suatu saat mau menjemput nya pulang.

Karena ia tahu, pulang tanpa di jemput itu dosa yang besar.

•••••

Jangan lupa vote ya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

That's OkayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang