17. Mie Kocok dan Kelapa Muda

704 105 38
                                    

"Usahakan untuk di rumah saja selama tiga hari ini. Efek vaksinnya mungkin akan mulai terasa sore atau malam nanti. Bapak bakal demam, nyeri, dan sebagainya. Tapi itu nggak apa-apa. Kecuali kalau setelah tiga hari masih bergejala, boleh langsung ke sini lagi aja—nah, kalau kau sudah divaksin, belum?"

"Udah, Sus."

"Vaksin kedua???"

"Udah—demi Tuhan." Hestu tidak tahan dengan bagaimana kelopak mata keriput itu menyelidikinya. Apalagi ketika wanita tua itu tetap bersikukuh. "Coba lihat, mana kartu vaksinmu! Nah, ini masih yang pertama. Sudah apanya—kemari kau!"

"Ya udah, nanti aku ke sini lagi! Kenapa harus buru-buru. Nanti kalau kami berdua barengan sakitnya kan repot."

"Buru-buru, mulutmu. Tanggal yang disarankan untuk vaksin selanjutnya juga sudah lewat dua minggu." Bu Matya menunjuk-nunjuk tabel pada kartu vaksin. "Persyaratan terbang sekarang sudah harus dua kali vaksin! Kecuali kalau kau mau hidungmu terus-terusan dicucuk buat PCR."

"Siapa juga yang mau terbang!"

"Lah, memang kau tidak ikut pulang nanti?"

"Pulang ke mana?" Hestu meneleng geli ketika dipaksa duduk di kursi lipat untuk dicek tensinya. Nenek-nenek ini seenaknya saja berasumsi. "Aku orang sini, Sus."

"Lho...." Si perawat tua merenung sebentar sambil mengusap-usap kapas basah ke lengan pemuda itu. Sepertinya masih dalam penyangkalan dan tidak sudi berbagi langit yang sama dengan Hestu. "Kupikir kau keluarganya Pak Yose?"

Yose yang mendengarnya lumayan tergoda untuk mengiakan.

"Memangnya kalau keluarga harus tinggal barengan," balas Hestu tanpa repot-repot mengklarifikasi secara penuh. Menghindari kemungkinan pertanyaan beranak-pinak yang bisa-bisa terlontar dari si perawat semacam "Jadi kenapa kau yang mengurusnya?" atau "Ke mana keluarga kandungnya?" yang mana hanya akan membuat Hestu pusing.

Pemuda itu hanya bisa mengernyit ketika jarum vaksin akhirnya menembus kulitnya.

Siang itu terik.

Bepergian dengan motor benar-benar tidak praktis. Hestu memutar-mutar pangkal lengannya yang terasa lumayan pegal setelah disuntik. Yose yang menyaksikannya akhirnya berkata, "Mau aku saja yang bawa motor?"

Hestu mengangguk. Harusnya agenda mereka selanjutnya adalah mencari sarapan siang—brunch. Tapi sepagian ini mereka belum membicarakannya. Mau bagaimana lagi, mereka baru menyebrang dari Bingkatak jam enam pagi. Sampai ke rumah tidak sempat berbaring, langsung mandi dan pergi ke rumah sakit untuk mengejar antrean vaksin jam setengah sembilan.

Hestu capek juga. Ia duduk di jok belakang dan membiarkan motor melaju entah ke manapun yang Yose kehendaki. Pemuda itu tahu ia harusnya berkoordinasi tentang sebaiknya mereka makan apa dan di mana, tapi Hestu sedang malas berbicara. Energinya sudah lumayan terkuras dihabiskan berdebat dengan Bu Matya tadi. Ditambah cuaca pagi yang hangat membuatnya tidak kuasa menahan kelopak mata yang memberat.

Belum pernah punggung seorang laki-laki tampak menggoda baginya sebagai tempat untuk meletakkan kepala. Kaos Yose yang putih bersih tampak cemerlang di bawah langit biru. Kaos Indomaret itu—Hestu terkekeh dalam hati. Jadi teringat lagi pada masa-masa laknat di mana Yose masih di IGD dan susah bukan main buat dipaksa makan. Kekanak-kanakan sekali waktu itu.


.


Hestu mengantuk sekali.

LenggaraWhere stories live. Discover now