20. Menuju Petuju

351 74 90
                                    

Warung soto mie yang letaknya beberapa belokan dari gedung perkantoran mereka adalah salah satu langganan Deka setiap jam makan siang. Dan hari ini, dia makan berdua dengan Aji yang siang itu merangkap jadi sopir ojek pribadinya. Menggosip seru mengenai kehidupan kantor. Deka berapi-api, sementara Aji sih sok alim tapi diam-diam sebenarnya tertarik  juga mendengar segala konklusi Deka.

"Mending jangan ambil kesimpulan sembarangan, Ka."

"Ya, tapi coba pikir, Pak." Deka menyesap kaldunya mantap. "Bapak sendiri yang bilang kalau dari nada-nada berteleponnya saja sudah beda." Wanita itu menyeringai kecil. "Pasti dia naksir seseorang di sana."

"Tapi dia bilang itu saudaranya."

Deka mendelik. Jijik ketika Aji pura-pura polos. "Dia sampai bela-bela refund tiket pesawat di detik-detik terakhir, mengalihkan dana refund buat beli tiket bus, terus membayar sendiri tiket penerbangan buat balik ke sini—menurut Bapak apa lagi artinya coba?"

"Artinya dia ceroboh tapi banyak duit."

"Apa lagi kalau bukan karena sesuatu—atau seseorang—yang signifikan?! Ish!"

"Dan seseorang yang signifikan nggak harus selalu pacar, Ka."

"Dih, Pak Aji benar-benar minta disiram kuah soto ya," gerutu Deka. "Kalau saya sih yakin," kukuhnya. "Dan saya mendukung Pak Yose dan asmara yang akhirnya tumbuh di dalam dirinya." Deka menggerakkan jari-jemarinya dramatis melukis ikon hati tak kasatmata. "Memangnya Pak Aji nggak prihatin melihat kehidupan abu-abu dia? Makan siang saja kadang bareng laptop! Jarang nimbrung kalau ada program outing dari HR. Dikasih surprise ultah juga responnya minimalis sekali. Muka selempeng-lempeng rekening saya."

Aji setuju. "Digangguin hantu di mess juga cuma yaelah-yaelah," desahnya. "Taruhan isi pikiran Pak Yose itu cuma prinsip kerja fluida."

"Nah." Deka menjentik-jentikkan jari. "Makanya, sekarang musim seminya sudah datang, Pak. Kayaknya Pak Yose itu late bloomer."

"Apanya." Aji hanya menggumam tidak jelas sambil menyendok soto. "Pokoknya jangan sampai menyebarkan rumor yang aneh-aneh lah, Ka." Karena bagaimanapun terkadang Yose bisa aneh dan menyebalkan, Aji tetap respek pada atasannya itu.

Bersamaan dengan itu, terdengar nada panggil dari ponsel Deka. Wanita itu buru-buru merogoh sakunya dan mengangkat telepon itu. Senyumnya merekah tipis di tengah percakapan. Ketika panggilan itu berakhir, senyum Deka semakin lebar sampai Aji ngeri sendiri melihatnya. "Dari orang pemasaran," bisik wanita itu tanpa ditanya.

Aji merinding. "Ya terus?"

"Mereka tadi nanya kira-kira ada teknisi yang posisinya lagi dekat ke pabrik di Merawali dan ready buat berangkat secepatnya. Mereka minta saya mengabari Pak Har."

"Oh, kalau tidak salah ada yang masih tugas di Gada, tapi mungkin perlu menunggu dulu beberapa—"

Deka langsung menghardik Aji. "Astaga, Pak Aji nggak konek ya. Saya mau mengabari Pak Yos lah."

Sebenarnya Aji mengerti ke arah mana maksud Deka. "Yaa, tapi kan Pak Yos lagi sibuk ikut menyiapkan partisipasi buat program pendanaan," tandasnya.

Deka tidak peduli. "Pokoknya harus dia yang dapat. Pasti dapat sih." Deka terkikik sendiri. Menyekrol-nyekrol ponselnya sambil bersenandung mencari kontak dan meluncurkan informasi seperti wingman yang handal.





***





"Yakin, Pak, kita ikut pendanaan begini? Itu berarti investor akan ikut memangku keputusan perusahaan, berbeda kalau kita ambil pinjaman modal ke bank."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang