Bagian 3 - Little Mo?

814 117 13
                                    

🍁



Seperti berada dalam pengasingan.

Hidup yang terlampau sepi, tak membeda dengan malam yang sunyi. Ia hanya menunggu dan terus menunggu sampai waktunya tiba. Menagih sejuta janji dan rindunya—semua melebur menjadi satu.


Kedua hati itu bertalu. Sosok yang lebih tua berdiri di depan kekasihnya yang malam itu tampak lebih kecil dari biasanya. Helaan napas kasar terdengar. Namun setelahnya, sosok itu mencoba tersenyum sembari meredam sang amarah yang tadi sempat dirasakan.

Jemarinya bertengger pada pucuk kepala kekasih yang masih terdiam setelah berdebat dengannya. Membawa satu tangannya dan milik si kecil pada sebuah genggaman. Manik mata mereka bertamu dan percikan api itu memudar bersama bisingnya suara hujan di luar.

"Aku minta maaf, ya. Maaf sudah memaksa kamu untuk ikut makan malam sama keluarga besarku."

Si kecil berdecak tak sengaja. Meski tanda itu tidak dianggap serius oleh sosok yang merupakan senior sekaligus kekasihnya. "Ini bukan karena aku nggak mau ikut makan malam sama keluarga kamu. Aku cuma belum siap mendengar pertanyaan itu lagi."

Itu lagi yang dimaksud adalah sebuah pertanyaan klasik yang sering ditanyakan oleh keluarga ketika anak mereka sudah berusia lebih dari 25 tahun.

Kapan nikah?

"Emang kamu nggak mau nikah sama aku?"

"Kak?" Si kecil langsung memotong. Tatapannya kembali menyalang hingga menghadirkan nuansa mendung. "Oke, aku paham, Sayang. Cuma kamu tahu 'kan? Keluargaku sudah menargetkan supaya aku menikah tahun ini, Za."

Menikah? Sejujurnya Moeza belum memikirkan sejauh itu bahkan setelah dirinya memperoleh gelar doktor, ia masih belum memiliki bayangan untuk menikah. Padahal usianya sudah hampir menginjak 28 tahun.

Karena menurut Moeza, pernikahan itu tidak bisa dirancang sembarangan. Harus dipikirkan dengan matang-matang. Banyak yang harus dipersiapkan. Apalagi proses setelah menikah, keduanya harus memikirkan urusan rumah, tanggung jawab kedua belah pihak dalam membentuk keluarga harmonis dan perihal keturunan.

Moeza masih belum memikirkan sampai ke depan. Ia masih menikmati waktunya dengan diri sendiri, karir yang sedang ia bangun dan pendidikan prof. yang rencananya akan segera ia ambil.

"Kak, aku sangat menghormati Ibu dan Bapakmu. Tapi soal keinginan mereka, aku masih belum bisa. Kakak tahu 'kan? Bahkan keluargaku sendiri nggak pernah memaksaku untuk segera menikah. Namun kalau memang kamu tidak bisa menungguku. Aku tidak keberatan jika kamu mencari yang lain."

Sosok yang bernama Ello itu menggeleng keras.

"Aku lebih baik nunggu kamu, dari pada aku harus kehilangan kamu." Ucapnya. Membuat hati Moeza sedikit menghangat. Setidaknya, ia dan Ello punya prinsip yang sama. "Tapi, besok malam aku sangat berharap kamu bisa datang karena besok perayaan ulang tahun eyang dan aku nggak mungkin datang tanpa kamu."

"Asal kamu bisa menjamin keluargamu tidak akan mengungkit soal penikahan—"

"Aku janji, Sayang." Sanggah Ello. Agihkan manis senyum yang menampilkan lesung pipinya. Moeza sudah tidak bisa membantah apa pun. Kepalanya mengangguk dan menyetujui undangan tersebut.

#MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang