55 : Map to the Island

548 140 27
                                    

Kambing-kambing mengembik. Pengembala yang sedang memberi makan kambingnya di dekat mercusuar menoleh pada debum ombak yang mencapai bibir pulau. Untung ladangnya dipagari, jadi kambingnya tidak tiba-tiba hilang diseret ombak.

Matanya menyelidik. Dari ujung laut, samar-samar terlihat bayangan sebuah kapal besar. Semakin mendekat, semakin jelas siapa yang sedang menuju ke pulau itu. Kapal tempur dengan bendera angkatan laut yang berkibar dengan gagah.

Sumringah. Pengembala kambing melambai-lambai. Di atas geladak paling depan, Arienne bersama Pierre saling bertukar pandang.

"Apa orang itu melambai ke arah kita?" tanya Arienne. Pierre menatap langit-langit, berpikir. "Sepertinya iya."

Keduanya pun ikut sumringah dan melambaikan tangan bersama-sama.

Lima menit berlalu. Arienne dan teman-temannya memarkirkan kapal(curian) mereka, berlabuh. Pengembala yang melihat kapal bobrok di belakang kapal tempur itu menutup mulutnya. "Astaga, dari mana kalian mendapatkan rongsokan itu!"

Mendengarnya, senyum Arienne tiba-tiba kaku.

Jake meluncur dari tali-tali layar, tidak takut terperosok. "Kami berniat menjual rongsokan ini─"

Arienne melotot.

"Menitipkan, menitipkan pada bapak untuk sementara." Jake langsung mengoreksi kalimatnya. Terbatuk-batuk.

"Oh iya, apakah ada pasar di sekitar sini yang menjual pakaian ganti?" Arienne bertanya sopan.

Pengembala kambing itu mengangguk. Mengantarkan Arienne, disusul Juward. Tadinya Jake ingin ikut, tetapi ia urungkan. Jake menggeleng-geleng, ia tak ingin kebiasaan buruknya kambuh jika berada di tengah keramaian(pasar).

Lupakan. Mereka kembali dengan kantong Jake yang menggempul.

Sudah berhari-hari mereka melakukan perjalanan tanpa membersihkan diri. Terlalu banyak kejadian yang terjadi tanpa diduga-duga.

Rosemary dengan sutra sederhananya duduk di dalam kabin, bersama perempuan lainnya ; Arienne dan Minerva. Hebat sekali kapal tempur ini, meskipun terlihat gagah, tetapi isinya begitu mewah dan tetap elegan. Arienne semakin tersinggung, pengembala kambing tadi menyebut kapal ayahnya rongsokan.

Arienne sudah merasa seperti bajak laut sungguhan sekarang, bukan lagi petualang. Gadis itu menjarah kapal angkatan laut, sungguh hebat.

Kalau ketahuan, tembakin saja yang menghalangi dengan meriam super canggih ini. Arienne pergi ke geladak kapal, melirik meriam yang menunduk saat tidak ada perintah.

Sudah setengah jam lalu, kapal mereka kembali berlayar. Juward di dalam ruang komando, di balik kaca transparan, meniup-niup kertas kasar berwarna coklat dengan tinta yang masih basah di atasnya. Setelah disentuh, tintanya tidak pudar ataupun menempel di jarinya. Juward menyeringai mantap.

"Petanya sudah jadi!"

Juward keluar membawa peta dan buku yang diberi Calypso sepuluh hari yang lalu.

Semua berkumpul. North dan Jake menyatukan dua meja, yang lain mengelilingi benda persegi panjang itu. Di tengah-tengahnya, Juward melebarkan peta dengan jelas.

Arienne berdecak kagum, dia menepuk bahu Juward. Begitu bangga memiliki navigator seperti Juward di sisinya.

Berkali-kali Juward membuat peta yang sama, dan berkali-kali pula peta itu menjadi lebih baik dan rinci dari sebelumnya. Ini sempurna.

Ada dua peta. Pertama, menyesuaikan titik koordinat peta-peta yang ada, kertas-kertas geografi berantakan di ruangan Juward membuat peta, itu sepadan. Hanya melingkari kemungkinan besar Pulau Phantom berada, tetapi Juward berseru yakin bahwa pulau misterius itu terletak di sana sesuai deskripsi Rosemary beberapa hari lalu.

Lalu peta kedua, peta bagaimana Pulau Phantom tergambar. Bentuknya terlihat fiktif. Juward penasaran siapa yang menggambar peta ini. Dalam artian, seseorang memang pernah tinggal di sana sebelumnya.

Rosemary terkesima, meraba dan menerawang peta itu dengan takjub. "Beginilah Pulau Phantom. Tak semua gunung-gunung menapaki tanah. Daratan kami terpisah-pisah, dihubungkan dengan jembatan yang kokoh. Tanah kami mengapung, mengelilingi daratan paling luas, yaitu Istana. Inilah kerajaan Zephyr!"

Pierre bersiul. Asik petualangan baru, liburan yang menyenangkan baginya. Hati Arienne berdebar-debar, membayangkan jika ia melihat sendiri bagaimana Pulau Phantom itu. Pulau yang tak semua orang tahu. Bertemu Rosemary adalah sebuah keberuntungan. North dan Jake melihat langit-langit, membayangkan gunung yang tak menapaki tanah.

"Kita akan ke angkasa?" North berkedip. Semua orang menoleh ke arahnya. Nah, itu yang masih dipertanyakan, bagaimana Rosemary bisa jatuh dari langit, sementara dirinya mengaku bahwa ia tenggelam.

Minerva dengan dunianya sendiri, membayangkan bintang-bintang ketika malam. Apakah bintangnya bukan di langit pulau, tetapi di bawahnya?

Kembali fokus. Juward memperlihatkan catatannya. Ia mencatat terjemahan Rosemary terkait petunjuk keberadaan pulau.

"Utara melengkung ditelan ufuk, jalan ke pasifik selatan, dan bangunkan anak tengah yang tertidur." Juward membacakan isinya, lalu menatap satu persatu awak kapal Caspian.

"Teka-teki ini harus dipecahkan di lokasi secara langsung, kita tidak bisa berasumsi apa-apa jika belum menyaksikannya dengan mata kepala kita sendiri." Juward mendominasi diskusi. Arienne mengangguk, sependapat.

"Kita akan menemukan pulau misterius itu, Pulau Phantom." Arienne, dengan keteguhannya menatap yakin ke arah para awak kapal. Menyeringai bangga dan mengangkat tangannya ke depan, diikuti yang lain.

"Menuju Pulau Phantom!" sorak mengudara.

Kapal mengebut. Membelah lautan dengan gagahnya. Arienne menengadah, dilihatnya bendera angkatan laut berkibar. Tanpa diminta, Jake tersenyum tipis, ia yang memang senang berada di atas layar, langsung meraih bendera itu. Diturunkan.

Mau bagaimanapun, bajak laut adalah identitas mereka, kan?

. . .

Angin menghembus kencang. Dalam empat belas jam, mereka melalui perjalanan yang cukup panjang.

Ethan merawat pedang kesayangannya. Bulan ikut memantulkan pesona dari pedangnya yang habis ditajamkan. Bayangan mata Ethan memantul logam pedang.

Carsein di sampingnya, bersandar di dinding kapal. Melipat tangannya. Naga kecilnya berputar-putar di sekitaran kapal, baru puas dari tidur panjangnya. Rambut seputih kapur itu dirayu oleh hembusan-hembusan malam, begitu pelan helainya ikut melambai.

Ethan berdiri dari duduknya. Membiarkan pedangnya tergeletak dikeringkan. Ia mengangkat seember air yang sedikit keruh. Lengan kemeja coklatnya menetap sampai siku. Pria itu mencari ke mana tatapan Carsein tertuju.

Rosemary.

Tuan putri itu sedang menari, mempelajari tarian sakral yang ada di dalam buku Calypso. Liontin batu Eterea berkilau di balik sutra tipis yang menutupi bagian dadanya. Selendang membungkus pundaknya, mencegah dingin yang mencubit kulit sensitifnya.

"Lebih tajam matamu daripada pedangku, heh?" Ethan bergurau. Ikut menyaksikan Rosemary menggerakkan tangan, kaki, seluruh tubuhnya dengan telaten.

"Sepertinya gadis itu pernah membunuh." Carsein tidak membalas gurauan Ethan. "Tapi wajah polosnya berkata sebaliknya."

Ethan berkedip, melirik Carsein dari lutut sampai kepala. Carsein menggerutu. Entah kenapa Carsein jadi tersinggung dengan perkataannya sendiri.

"Ada sesuatu yang aneh tiap kali aku berkesempatan tak sengaja melihat apa yang Rosemary lakukan." Carsein kembali menjelaskan.

Mengernyit, Ethan tak langsung menangkap maksud perkataan penyihir itu. Yang pasti, ia haruslah memasang telinganya baik-baik. Sebagian kalangan penyihir itu sensitif dengan aura tertentu. Ethan tahu betul, darah yang mengalir dalam diri Carsein bukan sembarang darah penyihir.

"Sesuatu yang berbahaya."

. . .

Carsein 🧎🏻‍♀️🧎🏻‍♀️🧎🏻‍♀️🧎🏻‍♀️

Di PW aura Carsein lebih keluar skskssk

PHANTOM'S WAY Where stories live. Discover now