5. Fotbar

27 6 9
                                    

Begitulah sesi diskusi kami selesai. Tanpa menemukan titik terang. Hal lain yang aku ketahui, Ilham suka merengek dan Kaisar suka mendominasi. Aku? Aku hanya bisa angkat bicara sesekali karena Kaisar sibuk presentasi dan Ilham yang selalu menyela tanpa henti.

Hal yang menyenangkan adalah karena aku pulang dengan perut kenyang. Senang sekali mendapat traktiran dari Kaisar. Bahkan Ilham yang mengajaknya berdebat sepanjang waktu juga pulang dengan senyuman lebar. Dia menghabiskan tiga piring nasi goreng dan 10 gorengan, mentang-mentang Kaisar yang bayar.

"Kami pulang dulu Air!" Aku membalik badan. Ilham melambai-lambaikan tangannya di depan gerbang asrama.

Ya. Kami tinggal di asrama. Asrama perempuan dan laki-laki bersebelahan yang dibatasi tembok tinggi.

Aku balas melambaikan tangan sambil tersenyum. Ilham anak yang asik. Dia sering berbicara dan pintar mencairkan suasana. Karena dia, diskusi hari ini tidak berjalan dengan garing. Mungkin karena itu kami tiba-tiba akrab. Aku rasa hampir semua orang yang dekat dengan Ilham jadi cerewet semua. Lihat saja Kaisar, wajahnya lelah dan cemberut. Dia pasti sudah habis energi untuk menghadapi si preman.

"Hati-hati Ilham, hati-hati juga Kaisar." Dan inilah hari pertama kami berteman.

Kaisar tersenyum tipis. Mengangkat tangan kanannya dan melambai sekali. "Ya," gumamnya yang hampir tak bisa kudengar

Melihat keduanya yang menjauh dari gerbang aku bergegas masuk ke dalam asrama. Asramaku ada di lantai dua, paling pojok dan paling besar. Inilah fasilitas yang dijanjikan sekolahan untuk anak-anak yang bisa menembus pertahanan beasiswa di Ayodhya.

Aku membuka kembali catatan beberapa jam lalu. Ada beberapa proyek yang sudah kami rencanakan. Kami harus memilih salah satu. Hampir satu jam kami memutuskan proyek mana yang akan kami ambil namun tetap saja tidak menemukan kejelasan karena Kaisar dan Ilham selalu berbeda pendapat.

Kaisar memberi usulan untuk melakukan penelitian terhadap energi pembaruan, dari angin, matahari dan karbo. Tentang bagaimana kegunaan dan dampak dari masing-masing energi lalu mencari solusinya. Dia juga mengusulkan energi mana yang paling langka dan bagaimana mengatasinya, mungkin membuat pengganti atau tiruan?

Itu rumit tapi cocok sekali dengan kami anak IPA.

Ide Ilham tidak perlu dibahas. Aku menolak keras formula yang dapat membuat ayam jantan bertelur. Selain mustahil itu juga melawan hukum gender.

Aku mengusulkan ide yang lebih sederhana. Membuat tanaman obat dengan berkolaborasi bersama para anggota PMR. Mengelompokkan sesuai jenis dari obat-obat tersebut dan membuat studi pengembang obat tradisional menjadi lebih ringkas dan muda didapat. Mungkin seperti jamu atau bisa lebih ekonomis lagi.

Lalu Kaisar mengusulkan pemikirannya yang kedua. Dia berencana mengajakku dan Ilham membuat sebuah aplikasi pemeliharaan hidup sehat. Aplikasi yang dapat mendeteksi radius sampah yang dapat membantu hidup manusia menjadi lebih bersih. Selain itu aplikasi yang dirancang Kaisar juga berfokus pada kesehatan mental dengan menyediakan sistem yang membantu relaksasi dan dapat menentukan pembagian waktu untuk manusia.

Di perjalanan pulang Ilham angkat suara dan memberikan sedikit ide yang lumayan waras. Ia mengajak mendeteksi limbah di kantin dan mendaurnya menjadi sesuatu yang lebih baik. Ia berkata bahwa dalam proses pendaurannya bukan hanya kita bertiga yang bertugas tapi seluruh sekolahan harus ikut andil.

Ide Ilham belum kami pikirkan dengan matang. Pemikirannya tidak jauh-jauh dari kantin. Tapi itu ide yang praktis dan bermanfaat. Aku bisa menyimpulkan hal lain. Aku dan Ilham bisa memikirkan ide yang cukup bagus tapi lingkaran pemikiran kami hanya sebatas sekolah dan siswa. Kaisar lebih luas, proyek-proyek yang dia pikirkan cenderung berat dan lingkarannya sampai di luar sekolah.

"Sulit sekali. Kira-kira mereka berdua juga berpikir tidak ya?" Aku bergumam menatap buku catatanku yang penuh corat-coret.

Sudahlah. Kita pikirkan kembali besok, sekarang saatnya istirahat. Tubuh yang lelah butuh waktu tidur yang sehat, hati yang gundah butuh sandaran yang tepat. Asik sekali lah menghalu sebelum tidur. Aku memejamkan mata, mencoba menyelami lautan mimpi yang penuh dengan warna-warni. Semoga besok lebih baik lagi.

Paginya, hari baru dimulai. Mata semua orang tertuju pada kami. Aku berdiri di tengah-tengah dua lelaki jakung yang sedang naik daun. Ketua Osis dan preman kantin yang punya sasaran fansnya sendiri. Aku juga berdandan rapi hari ini, menggunakan seragam lengkap dengan vest bahkan almamater hitam ciri khas sekolah. Pita besar terikat di belakang rambutku. Kaisar dan Ilham juga demikian rapi dan bersinar. Hari ini kami akan melakukan proses foto bersama. Setiap tim akan berfoto bersama anggota tim-nya. Proses remeh temeh yang dianggap luar biasa bagi banyak orang.

"Cantik sekali, Air." Ilham memujiku sambil tersenyum lebar. Aku balas tersenyum padanya. Kalian jangan berpikir aku akan bersemu merah dengan pujian palsu itu.

"Kalau menurutmu aku bagaimana?" tanyanya balik membuatku menulusuri penampilannya. Iya, sih dia terlihat lebih manusiawi dari pada biasanya.

"Terlihat seperti manusia normal," jawabku seadanya. Kaisar tertawa ringan menoleh padaku dan Ilham.

Dari tadi pagi, Kaisar banyak tertawa.

"Jawaban yang bagus Air. Ayo kita lebih dulu." Yah, tentu saja. Kami tim A, sudah dipastikan apapun itu kami urutan pertama. Nasib buruk memang.

Sorakan kian ramai ketika kami bertiga menaiki panggung. Sang Photographer tersenyum dan mengarahkan kami untuk berpose. Foto ini ditujukan untuk dipasang di galeri sekolah. Dalam galeri tersebut akan ada papan tersendiri yang digunakan khusus untuk memajang foto-foto anggota tim di tiap tahunnya. Tak setiap tahun ada tim lengkap dari A-Z. Tahun ini saja hanya ada sekitar 12 tim. Sebenarnya kami dipersilakan untuk mengganti nama tim tapi untuk saat ini, aku, Kaisar, dan Ilham tidak memiliki pemikiran untuk mengganti nama tim. Aku rasa tim lain juga.

Aku berdiri di tengah, Kaisar ada di samping kanan dan Ilham di samping kiri. Sebagai siswa nomor satu di Ayodhya, Kaisar tak lagi asing dengan situasi demikian. Saat semua pasang mata terarah padanya. Berbeda denganku dan Ilham yang sedikit gugup dan kaku. Kami bahkan tidak tahu harus berpose seperti apa.

"Senyum." Sang Photographer mulai menjepret gambar kami. Ia mengernyit memandang hasil foto dan kami bertiga secara bergantian.

"Ada apa?" tanya Ilham penasaran dengan reaksi photographer tersebut.

"Jelek sekali hasil foto kalian. Tidak selaras."

Aduh. Ya gimana dong, aku ini korban buli, Ilham preman dan Kaisar bintang sekolah. Bagaimana cara untuk menyelaraskannya.

"Jangan tegang, rileks. Kalian cukup tersenyum," ucap Photographer itu sambil bersiap-siap kembali memotret kami.

"Yang senyum dapat traktiran." Kaisar tersenyum sambil berucap pelan.

Aku dan Ilham tidak perlu meminta Kaisar mengulang perkataannya. Kami tersenyum senang. Suara sorakan dari penonton semakin riuh. Ilham bahkan hampir tertawa entah apa sebabnya. Senyum kami bertiga sangat lebar seakan kami tim paling bahagia. Pusat perhatian pertama pagi ini. Sungguh, setelah ratusan hari tinggal di Ayodhya ini adalah hari pertama aku diperhatikan selayaknya siswa biasa.

Terima kasih, Kai, Terima kasih Ilham. Setidaknya ada hal bahagia yang akan kukenang dari sebuah tempat yang selama ini kusebut neraka.

Foto dari AI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Foto dari AI

Team A: Survival CompetitionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang