7. Semakin Menjauh

7.7K 554 8
                                    

"Bunda, yoganya udah belum?"

Aku dengan segera menghentikan kegiatanku, dan menatap lelaki menggemaskan yang sudah merebahkan tubuhnya tak jauh dariku itu.

Tadi, ia memaksa untuk ikut. Tapi baru lima menit melakukannya, ia sudah kelelahan dan bertanya kapan selesai.

"Keenan, main aja ya. Bunda masih lama." Pintaku. Mengelus pelan pipinya, dan tersenyum melihatnya yang mengangguk menuruti perintahku. Aku masih memperhatikan dirinya yang kini berpindah duduk dan mulai fokus dengan mainannya, dan setelah merasa yakin, aku kembali fokus dengan kegiatanku.

Hampir sebulan ini, aku sangat suka melakukan yoga. Beberapa minggu yang lalu, aku merasa kacau. Sering menangis, dan juga kesal. Tapi syukurlah, sekarang sudah tidak lagi. Hidupku sudah mulai tenang, walau sebenarnya aku tahu, aku tenang karena tak bertemu lelaki itu.

Iya, kalau bulan lalu ia terlalu sering berkunjung, maka hampir sebulan ini wujudnya sama sekali tak terlihat. Setelah pertengkaran kami, ia pergi dan tak lagi terlihat sampai detik ini.

"Bunda, kok Ayah nggak datang - datang ya?" Tanya Keenan. Membuatku kembali menghentikan kegiatanku. Aku menoleh menatapnya, dan berusaha tersenyum walau rasanya sangat sulit.

"Sabar ya, mungkin Ayah lagi sibuk."

"Padahal Ayah udah baik loh sma Keenan." Ucapnya lagi, menatapku dengan pandangan sendu.

Aku masih mempertahankan senyumku walau hatiku mulai terasa sakit. Kenapa seperti ini jadinya. Disaat aku memohon untuk bercerai, ia malah berusaha mengambil simpati Keenan. Tapi lihatlah sekarang, ia kembali berulah?

"Nanti sore kita jalan - jalan yuk!" Tawarku. Berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mauuu!! Keenan mau Bunda." Jawaban heboh Keenan, membuatku semakin tersenyum dan sedikit lega.

Aku menatapnya dengan pandangan nanar, merasa tertampar melihatnya seperti itu. Aku terlalu sibuk menyembuhkan lukaku, tanpa sadar kalau ia pun terluka. Dengan segera kuhentikan kegiatanku, dan berjalan mendekatinya. Kuraih tubuhnya yang semakin tinggi dan besar, menggendongnya sekuat yang aku bisa. "Kalau sekarang aja, gimana?" Tawarku. Mengecup pipinya, dan tergelak mendengarnya yang berteriak heboh.





***

"Yang ini mau nggak?" Tawarku. Mendekatkan piyama berwarna biru ke tubuh Keenan.

Setelah puas bermain dan makan, aku memutuskan untuk berbelanja. Tubuh Keenan semakin tinggi, dan berat badannya semakin bertambah. Dan aku merasa, semua baju yang ia kenakan terlihat sempit dan kekecilan. Jadi, mumpung masih berada di sini, sekalian saja aku berbelanja kebutuhannya.

"Boleh, warnanya biru, Keenan suka." jawabnya, menatap dengan binar bahagia baju yang sudah berpindah ke tangannya itu. Aku tersenyum, karena tahu ia menyukai sesuatu karena warnanya. Keenan memang sangat menyukai warna biru, bukan terobsesi, tapi kalau ada yang berwarna biru, ia langsung menyukainya.

"Keenan mau beli apa lagi?" Tanyaku. Setelah membeli beberapa piyama, kaos, dan celana untuknya. Menurutku ini cukup untuk beberapa bulan ke depan.

Aku menoleh karena tak mendengar jawabannya, dan tertegun melihatnya yang terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Ku ikuti arah pandangnya, dan mencelos karena melihat sesuatu yang tak baik di depan sana.

Lelaki itu berjalan bersama istri dan kedua anaknya. Di kedua tangannya, terdapat beberapa paper bag pertanda mereka baru saja berbelanja seperti aku dan Keenan. Pandanganku kini tertuju ke lengannya, menatap tanpa minat bagaimana istrinya bergelayut manja. Sedangkan kedua anaknya, terlihat riang berjalan bergandengan tangan di depan mereka. Terlihat sangat - sangat harmonis!

Kembali kutatap wajah anakku, memperhatikan raut wajahnya yang terlihat murung. "Keenan mau ketemu Ayah?" Tanyaku. Dan tersenyum melihatnya yang menggeleng pertanda tak mau.

"Nggak mau, mau sama Bunda aja." Jawabnya lirih. Ia dengan cepat meraih jemariku, menggenggamnya erat, dan memaksaku untuk segera pergi.

Senyumku masih terlihat, walau aku tahu ini bukanlah sesuatu yang baik. Mungkin ini terdengar sangat jahat, tapi aku sangat ingin Keenan membenci Ayahnya. Ia harus membenci lelaki itu, sama seperti yang aku rasakan. Ribas tak layak mendapat cinta dari anak yang sudah ia sia siakan. Rasa benci lebih layak ia dapatkan daripada rasa cinta, dan ia harus merasakan itu.

Kami berjalan dengan tangan yang saling menggenggam, dan napasku tercekat, merasakan genggamannya yang semakin erat. Keenan pasti terluka, dan lukanya pasti lebih besar dariku.

Jarak kami yang semakin dekat, membuat perasaan sakit itu semakin terasa. Aku dengan sengaja menatap wajah mereka, melihat dengan angkuh mereka yang juga menatapku dan Keenan. Untuk pertama kalinya aku seperti ini, menatap wajah mereka tanpa senyum sama sekali. Aku bahkan menatap Ribas dengan wajah marah, bukan karena cemburu, tapi karena rasa benciku yang semakin menguar.

Ia tak pantas ditatap dengan senyum, lelaki jahat sepertinya tak akan pantas mendapatkan itu.

"Kinaya?"

Aku tahu ada yang memanggilku, tanpa berbalik pun aku tahu. Berhenti? Tentu saja tidak. Aku malah semakin melajukan langkahku. Menjauh dari mereka yang tak berarti untukku dan Keenan.

Hembusan napasku terdengar, merasa lega karena sudah menjauh dari mereka. Kuhentikan langkahku, dan menatap wajah anakku. Tapi perasaanku semakin hancur, melihat apa yang seharusnya tak boleh menghampirinya.

Dia menangis dalam diam, dan itu menyakitkan untukku.






Bersambung.

RETAK [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora