22. Hasegawa Touma

1.2K 200 83
                                    

Batas antara hidup dan mati itu tipis.

Lim Jinwook teringat ketika dulu ia dihadapkan pada betapa tipisnya batas tersebut. Berkali-kali Kim Sangyoon menceritakannya dengan jelas. Usianya kala itu masih terlalu hijau, lima belas tahun, tapi tragedi memilihnya seakan-akan usianya jauh lebih besar dari itu.

Tahun 1965, di sebuah rumah pelacuran chinatown, satu selang silikon kecil terbebat kuat di pangkal lengannya. Di nadi pertengahan tangan, sebuah suntikan tiga cc masih menancap. Jinwook tergeletak di lantai kayu berbau lembab jamur hampir satu jam lamanya. Yang menemaninya hanya cahaya temaram kemerahan yang berasal dari bilik-bilik berbau asap rokok dan kabut residu dari para pemadat, menerangi gang yang membelah dua sisi rumah bordil tersebut. Tidak ada yang peduli pada tubuhnya yang teronggok di antara kaki-kaki pelacur dan pria hidung belang yang berlalu lalang, hingga Kim Sangyoon menemukannya.

Ketika itu Sangyoon hanya seorang pria biasa yang baru saja bekerja sebagai klerek. Usianya dua puluh depalan tahun. Dia tidak kharismatik dan tidak menarik perhatian. Penampilannya kelewat biasa, khas kaum proletar miskin yang hanya peduli pada apa yang dapat dimakannya hari itu. Maka, ketika dia membopong ketiak Jinwook dan menyeretnya ke tempat yang lebih manusiawi, tidak ada yang memperhatikannya. Dia bak induk kucing liar yang tengah menyeret bangkai anaknya sendiri, peristiwa kerdil di tengah dunia yang luas ini. Dan ketika Sangyoon berhasil membaringkan Jinwook di pelipir ruangan, dia mendekatkan telinganya pada dada pemuda yang tampak menyedihkan itu.

Sulit bagi Sangyoon untuk menangkap suara detak jantung, tapi dia menemukannya walau sangat lemah. Sangyoon lekas tahu bahwa dia harus membawa sosok malang itu ke rumah sakit, berpacu dengan waktu, berpacu dengan sisa harapan, sementara kendaraan andalannya untuk menempuh jarak sejauh dua ratus meter hanya sepasang kaki yang seharian ini baru mendapat tenaga dari sepotong roti mantau.

Mengabaikan kondisinya sendiri, Sangyoon menggendong Jinwook yang tak sadarkan diri di punggungnya. Napasnya terasa hanya tinggal seujung kuku ketika ia berlari dengan beban 45-50 kilogram di pundaknya. Dadanya seperti siap meledak kapan saja, tapi Sangyoon tak peduli. Isi selembar surat yang baru dibacanya pagi tadi membuatnya ingin menolong pemuda malang itu. Pemuda yang mengingatkannya tentang betapa dunia tak akan memberikan kesempatan bagi mereka yang lemah. Maka dia terus berlari.

Ketika akhirnya tiba di ruang gawat darurat rumah sakit, Sangyoon menyerahkan Jinwook pada petugas paramedis. Pemuda malang itu lekas dibaringkan pada salah satu brankar, diberi pemeriksaan tahap awal. Dokter menyorot matanya dengan senter sebesar cerutu, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya. Sangyoon pikir, semua berjalan lancar, namun tak berapa lama keanehan terjadi.

Sangyoon melihat seorang suster berbisik pada suster lainnya, lalu suster yang lain itu berbisik lagi pada seorang suster lainnya lagi. Mereka saling melempar pandang dengan mulut menggumam kecil, berdiskusi tentang sesuatu yang tampak serius. Sangyoon tak tahu mengenai apa, tapi tiba-tiba dia merasa sebuah peristiwa besar sedang menanti.

Tak lama, salah satu dari ketiga suster itu berbisik lagi pada dokter. Dia tampak terpegun. Kemudian dokter itu menatap Sangyoon dengan cara yang membuatnya merasa tak nyaman, mirip seperti ketika manajer rumah bordil menatapnya usai seseorang mengadu mengenai uang dalam kotak kasir yang menghilang sebagian.

Sangyoon menelan ludah. Dokter itu mendekat.

"Di mana kau menemukan anak ini?" tanya dokter itu.

"Di rumah pelacuran chinatown," jawab Sangyoon setelah menimbang beberapa saat.

"Apa kau tahu dia anak siapa?"

Seketika Sangyoon tahu dia terlibat jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.

.

.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHWhere stories live. Discover now