XI.

311 32 0
                                    

Renjun sungguh ingin mengumpat dengan bel apartemennya yang berbunyi berkali-kali. Kelihatannya tamu kali ini tak punya cukup kesabaran. Sudah menganggu pagi indahnya yang bahkan Renjun sendiri belum memperhatikan wajahnya di cermin karena bangun tidur.

Alhasil begitu dia melihat pada sosok yang tidak pernah ia duga pula. Berdiri tegap, dengan wajah yang tak kalah berantahkan padanya. Masih ada sopan-sopannya dia tak menyerobot masuk dan menunggu Renjun mempersilahkan dahulu.

"Kita harus bicara." Ucap Jeno lebih mirip memohon. Renjun lekas mengangguk, menutup pintu serta mempersilahkan masuk ke dalam. Niat hati ingin menawarkan minuman sekalian, tapi sosok tersebut menodongnya dengan pertanyaan mengejutkan.

"Kau butuh uang, Ren?"

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, berapa uang yang kau dapat dari menjual temanmu sendiri?"

Renjun tidak suka. Jauh dari dugaannya orang ini begitu tidak sopan, alih-alih keduanya baru kenal di bandara. Untuk itu dia pun membalaskan dengan pertanyaan tak kalah menantang. "Kau mempermasalahkannya?"

"Aku mengkhawatirkannya." Tepis Jeno langsung. "Kau tahu betul pekerjaan itu tidak aman untuknya. Banyak pria mencoba menyakitinya, menyiksanya dan memperlakukannya seolah bukan budak nafsu mereka. Cukup Ren tidak lagi!"

Sebuah pernyataan yang cukup emosional. Bukan Jeno tidak tahu bekas samar yang selalu melingkupi tubuh kekasihnya. Bahkan ketika Jaemin memakai pakaian tertutup sekali pun. Ada kalahnya di leher, lengan atau bagian tubuh lainnya.

"Lalu mengapa tidak dari dulu kau berusaha membebaskannya?" Tantang Renjun. Dia melipat tangan menunggu Jeno dengan segudang alasannya.

Jaemin bilang kekasihnya ini mengetahui pekerjaan laknatnya dan tidak mempermasalahkannya. Hal yang cukup membuat Renjun kagum pada awalnya, menganggap bahwa sahabatnya memperoleh teman yang tepat. Tapi sebuah plot twist ketika Jeno yang pagi-pagi bertandang di rumahnya ingin melabraknya. Barangkali karena pembawaannya yang memang lemah lembut, kata melabrak bisa diganti dengan memprotes.

"I just need time." Desahnya panjang.

Sebuah alasan klasik karena waktu yang selalu menjadi kambing hitam dari pikiran-pikiran tak puas seseorang.

"Tapi Jaemin berhak memilih hidupnya sendiri."

Mata Jeno memincing tajam. "Bahkan ketika temanmu jatuh ke dalam kubangan kotor bukannya menarik tapi kau malah mendorongnya semakin dalam, Ren?"

"I have'nt a robe." Renjun menjawab santai.

"Baiklah, bagaimana jika keadaanmu terbalik, kau yang jatuh ke kubangan itu, haruskah Jaemin menolongmu?"

"Dia bisa meloncat bersamaku."

"Insanne..."

Renjun menertawakan reaksinya. Jika dia tidak segila itu mana mungkin bisa berteman dengan Jaemin? Tidak memungkiri inilah resiko dari Long Distance Relation-shit. Keduanya yang merasa saling mencintai dan mengenal pasangan masing-masing, nyatanya tidak. Jaemin masih penuh kejutan untuk Jeno. Begitu pun Jeno yang sepertinya tidak se-incredible yang diceritakan Jaemin.

"Berapa lama kau mengenalnya, Jen?" Renjun mempersilahkan Jeno untuk duduk terlebih dahulu bersama dia yang duduk dihadapannya langsung. "Dua tahun? Empat tahun? Bahkan bagiku hanya butuh waktu semalam untuk mengerti semua yang ada di kepala anak itu."

"You don't know anything."

"Dia korban pemerkosaan bukan?" Tebak Renjun benar membuat sosok dihadapannya kontan terhenyak tak percaya. "Dia bahkan tidak pernah menceritakan masa lalunya dan aku bisa menebaknya sendiri."

The Beauty 5000 Dollars (NOMIN) REPUBLISHWhere stories live. Discover now