Januari 1996

7K 394 42
                                    

"In that first encounter, amidst the chatter and laughter, a quiet spark ignites, leaving him spellbound by her presence, though he dismisses the notion as mere whimsy."

*

"Kak Romi! Kamu udah selesai, belum? Kok lama banget!"

Suara melengking dari depan pintu membuat Romi memberengut. Ia menarik napas panjang. Tubuhnya masih duduk di atas kasur dengan tangannya masih membuka buku terlepas dari jas formal yang sudah membungkus tubuhnya yang kurus dan tinggi. 

"Kak Romi!" Suara melengking itu terdengar lagi.

Tak lama, pintu kamar Romi terbuka, menampilkan seorang anak perempuan berusia dua belas yang tampak tersenyum lebar.

"Kak Romi lama banget, sih!" protesnya.

Romi mendengkus saat perempuan di depannya masuk begitu saja. Ia berputar-putar pelan. Gaun mengembang warna merah mudanya begitu cantik.

"Ya, sebentar, Julie. Aku belum selesai baca, tanggung." Romi berucap asal. "Kalau dibawa ke pesta nanti, belum abis pestanya, bukunya udah selesai."

Julie memutar bola mata. "Seriously, Kak Romi? Kamu harusnya menikmati pesta, bukan malah mojok baca buku."

Romi tak menanggapi Julie, adiknya yang berusia dua belas tahun dan sedang senang-senangnya datang ke soiree awal tahun yang diadakan di kediaman Aditya Adhyaksa sore ini. Seperti tradisi-tradisi pada umumnya, generasi berikutnya akan mulai diperkenalkan dan datang ke pesta-pesta ketika usia mereka dua belas di tahun tersebut.

Sebagai anak perempuan, Julie tentu begitu gembira dan menantikan gilirannya untuk datang ke pesta tersebut. Ia beberapa kali mengintip dari kamarnya atau ikut bergabung namun tidak diperkenalkan secara formal ketika peta terjadi di kediaman mereka.

Bertolak dengan Julie, Romi merasa pening setiap kali ikut ke dalam perhelatan buang-buang waktu dan uang yang diadakan orangtua-orangtua itu. Walaupun dalihnya membangun koneksi, Romi lebih baik duduk di pojok dengan membaca buku yang ia bawa. Ia bahkan begitu malas bergabung dengan sirkel anak-anak sosialita lain yang membahas hal-hal tidak penting. Tetapi, ia juga ogah menemani ayah ibunya seperti yang dilakukan oleh Darmantara, anak lelaki seusianya yang malah berada di acara inti dan bukan bersama anak-anak lain.

Setiap ada di pesta, rasanya Romi hanya ingin pulang ke kamarnya, lalu membaca. Hanya itu.

"Romeo! Juliette!" Teriakan dari lantai bawah membuat Romi dan Julie terkesiap. "Ayo cepat!"

Romeo dan Juliette. Dari namanya saja, orang-orang pasti tahu kecintaan dua orangtua mereka pada karya Shakespeare yang satu itu. Konon katanya, kencan pertama kedua orangtua mereka memang dilakukan di teater Broadway sembari menonton pertunjukan Romeo & Juliette. Jadilah ketika anak mereka lahir, nama itu yang disematkan.

Pernah suatu hari Romi bertanya, "Bagaimana kalau yang lahir adik laki-laki?" atau "Bagaimana kalau dua anaknya perempuan?"

Dan jawaban mereka adalah,  "Kalau perempuan dua-duanya maka akan diberi nama Juliette dan Romayna, kalau laki-laki dua-duanya maka akan diberi nama Romeo dan Julian."

Jawaban yang jelas membuat Romi memutar bola mata. Orangtua yang aneh. Untung saja mereka benar-benar punya satu anak laki-laki dan perempuan.

"Ayo, Kak! Cepetan, ih!"

Romi berdecak saat membalik halaman terakhirnya. Ia berdiri dan meletakan buku itu di lemari. Tangannya tersilang. Kini, ia tengah menimang buku apa yang mau dia bawa ke pesta membosankan itu.

"Kak!" Julie makin merajuk.

Ia melirik adiknya sebelum mengamit salah satu buku tebal yang berada dalam jangkauannya. Kaki keduanya melangkah keluar sebelum masuk ke dalam mobil. 

Julie terlihat begitu antusias. Dari lirikan Romi, ia melihat bagaimana adiknya itu meremas rok berkali-kali. Antara senang dan gugup bersamaan. Ketika mereka akhirnya turun dari mobil, Julie semakin meremas angin.

"Gugup?" tanya Romi kemudian. Ia mengulurkan tangan, mengambil tangan si adik dan menggenggamnya erat.

Julie mengangguk. Ia menghela napas pelan.

"Ini semua nggak kayak yang kamu pikirin, kok." Romi menenangkan. "Malah nanti, mungkin, kamu bakal bosen banget!"

Julie memutar bola mata. "Itu karena kamu memang anti sosial, Kak Romi!"

Bahu Romi terangkat sementara keduanya memasuki rumah besar yang berada di bilangan Menteng tersebut, membuntuti kedua orangtua mereka.

Dari jauh, Romi sudah bisa menangkap sosok Darma. Kali ini, anak lelaki sebayanya itu menjadi tuan rumah. Seperti prediksi Romi, Darma dengan sigap menyapa setiap orang tua yang mengajaknya mengobrol. Lelaki itu begitu luwes dengan siapa saja. Senyum palsu yang dibuat-buat tampak begitu nyata untuk Romi walaupun terlihat menyenangkan untuk setiap lawan bicaranya. 

Untuk anak berusia enam belas, Darma begitu luwes dan mahir memainkan perannya. Sangat khas Adhyaksa.

"Anak-anak biasanya ngumpul di sana," ucap Romi melirik ke arah satu perkumpulan remaja di ujung ruangan.

Julie mengulum bibir. Ia melirik sekilas ke arah gerombolan itu sebelum membuka mulut kaget. "Kak... itu Gayatri dan Adhisty?" Julie menunjuk dua orang perempuan yang tengah berbincang-bincang dengan beberapa orang lainnya.

Romi membetulkan letak kacamatanya sebelum menatap dua remaja perempuan yang paling mencolok. Yang satu bertubuh kecil dengan rambut ikal dan satu lagi bertubuh tinggi dengan rambut lurus. Keduanya sama-sama menjadi pusat perhatian siapapun, seolah bumi berputar mengelilingi mereka.

Kalau dipikir-pikir, bumi memang selalu berputar mengelilingi setiap Adhyaksa. Siapapun orangnya.

"Kamu kenal?" tanya Romi sedikit kaget.

Julie mengangguk. "Mereka satu sekolah sama aku, tapi lebih tua setahun. Semua orang selalu ngomongin Kak Adhisty dan Kak Gayatri. Mereka cantik banget, sih!"

Dagu Romi terangguk. Adhisty dan Gayatri memang jadi sosok baru di pesta setahun belakangan ini. Mereka baru saja diperkenalkan tahun lalu sebagai dua anak perempuan Adhyaksa. Gayatri merupakan anak sulung dari direktur utama perusahaan, sementara, Adhisty adalah sepupunya sekaligus adik dari Darma. Ya, Darma yang itu!

"They are so pretty, right?" Julie masih berucap kagum. "I wish I could be like them."

Romi menggeleng pelan. Penampilan mereka memang mencolok. Gayatri tampil dengan gaun warna biru muda dengan sequin yang kelap-kelip, sementara Adhisty memilih gaun kuning yang lebi simpel dengan potongan rok mengembang seperti putri Belle di Beauty and The Beast.

Tetapi, menurut Romi, keduanya sama saja dengan kakaknya. Artifisial, palsu, munafik. Senyum itu begitu... dipaksakan.

Sekilas, ia bisa melihat wajah Adhisty mendongak. Mata mereka bertatapan. Hanya sebentar sebelum Adhisty kembali diajak ngobrol oleh Bram—Bramantya Rahardja–anak dari Bagas Rahadrja, seorang pengusaha batu bara.

"You are so stunning as well, Sis. I bet every boy cannot take their eyes off you." Romi menghibur adiknya.

Julie tersenyum kikuk. Ia meninju bahu kakaknya pelan. "Thanks, you know how to make my day, biarpun hiperbolis."

Romi tertawa. Ia kembali melirik ke arah Julie yang masih khawatir dan sesekali melirik ke arah gerombolan baru itu. "Kamu bisa ajak mereka ngobrol," ucap Romi kemudian.

Julie menggeleng. "Aku takut."

"Kenapa harus takut?" balas Romi lagi. "Mereka sama-sama manusia, nggak ada bedanya."

Julie menggeleng pelan. Wajah ragu terlihat di sana. 

"Ayo..." ucap Romi mendorong punggung Julie pelan.

Julie kembali menengok ke belakang. Ia ragu namun pada akhirnya berjalan ke arah gerombolan tersebut. Sementara, Romi mundur beberapa langkah. Menghilangkan diri dari setiap orang untuk ke sekian kalinya.

Miss Oh So PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang