IV

320 22 3
                                    

Tangis Alora tak tertahankan ketika melihat peti mati berwarna putih itu mulai diturunkan. Gadis itu hendak menyalurkan emosinya dengan mencakar lengan tangannya, akan tetapi Bara seakan sudah dapat membaca pikiran gadis itu dan mengerti apa yang akan dilakukan Alora. Laki-laki itu menggenggam tangan kiri Alora dan menyandarkan kepala Alora ke dadanya. Merengkuh dalam-dalam kekasihnya, berharap ia setidaknya dapat mengurangi kesedihan hebat yang dirasakan Alora saat ini.

Bara jelas sangat tahu dan memahami betapa sayangnya Alora pada Danuar dan bagaimana hancurnya gadis itu saat harus kehilangan satu-satunya keluarga yang paling menyayangi dan mencintainya melebihi kedua orang tuanya sedari ia kecil bahkan hingga saat ini. Bara bisa merasakan kemejanya mulai basah akibat air mata Alora yang mengalir begitu deras. Tubuh gadis itu bahkan tak henti bergetar hebat, isak tangisnya bahkan terdengar begitu sesak dan sangat menyakitkan di telingan Bara.

Hati Bara benar-benar sakit melihat bagaimana keadaan Alora sekarang. Bara juga mengkhawatirkan bagaimana kondisi Alora kedepannya tanpa Danuar di sampingnya. Hidup gadis itu sudah berat, dan kini ia harus kehilangan bagian terpenting dalam hidupnya juga.

Beberapa saat kemudian, kondisi pemakaman mulai sepi. Orang-orang terlihat satu-persatu mulai meninggalkan area pemakaman itu. Hanya tersisa Bara, Alora, dan Yosua-Ayah Alora.

"Sudah Alora, ayo kita pulang." Ajak Yosua berusaha memahami perasaan kehilangan dari putrinya itu. Yosua juga sangat mengetahui bahwa Alora sangat menyayangi Danuar. Bahkan Yosua juga sadar bahwa kedekatannya dengan Alora tidak ada apa-apanya dibandingkan kedekatan Alora dengan Danuar, Kakak sepupunya itu.

Alora bergeming, tak menjawab ajakan Yosua.

"Kamu Bara 'kan? Pacarnya Alora bukan?" Tanya Yosua memastikan. Sembari masih merengkuh Alora, Bara menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukan singkat. "Iya, Om."

"Boleh tolong jaga Alora? Saya harus menemui keluarga Danuar di rumah duka," pesan Yosua.

"Pasti, Om." Jawab Bara meyakinkan.

1 Jam...

2 Jam...

3 Jam...

Alora akhirnya mengakah dan bersedia bangkit dari pusaran makam itu setelah Bara membujuknya karena kondisi hari yang mulai gelap.

Selama proses pemakaman berlangsung Alora benar-benar menjadi sosok yang pendiam dan terlihat sangat rapuh. Ia adalah orang yang paling terpukul atas kepergian Danuar. Pada jam-jam terakhir Alora di pemakaman pun, mata gadis itu tetap saja tak henti-hentinya mengeluarkan air mata hingga menyebabkan kedua kelopak matanya bengkak dan memerah. Sepanjang Bara mengenal kekasihnya itu, menurutnya ini kali pertama ia melihat kondisi Alora se-berantakan itu.

***

Dua hari telah berlalu sejak prosesi pemakaman berlangsung. Alora meneguk kembali cairan dari botol minuman keras yang berada di tangannya. Sejauh ini, hal ini merupakan perbuatan Alora yang menurutnya paling menyimpang dari kebiasaannya. Alora mendapatkan minum-minuman semacam itu dari kamar sang Ayah tanpa ada satupun orang yang mengetahuinya. Alora kemudian diam-diam menyelinap keluar dengan tiga botol minuman keras Ayahnya itu pada pukul satu dini hari dan pergi ke rumah tua kosong seorang diri.

Alora sadar ide ini sangat konyol dan bodoh, akan tetapi menurutnya tak ada cara lain lagi. Ia hanya ingin setidaknya melupakan fakta bahwa Danuar telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia berpikir setidaknya dengan mencoba minum dan mabuk ia bisa sedikit lupa mengenai fakta menyakitkan itu, ya meski hanya sedikit.

Gadis itu merebahkan dirinya di atas atap rumah kosong itu, bahkan dinginnya angin malam yang begitu menusuk kulit tak ia pedulikan. Sebenarnya untuk ukuran peminum pemula, Alora cukup kuat untuk bisa menghabiskan satu setengah botol minuman keras itu seorang diri, meskipun sejujurnya ia sudah merasa perutnya begitu mual dan kepalanya menjadi pusing.

NEBARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang