Novel baru lagi....
Yuk siapa yang mau emosi di bulan puasa. Ekekeke ke****
"Duh, kok pengen sih...." Aku mengeluh dalam hati karena memang sudah lama tidak melakukannya. Akhirnya aku melirik istriku yang tengah menyusui anak ketiga kami yang berusia 6 bulan. Aku menghela nafas, menatap penampilannya yang hanya pakai daster usang dengan bagian depan terbuka setengah karena tengah menyusui. Rambutnya nampak diikat asal membuatnya sangat berantakan, aku mendekatkan hidungku untuk sekedar mencium aromanya yang, uh, bau asem.
Aku perhatikan istirku sudah tidak menarik lagi, bagaimana aku akan menuntaskan diri jika memiliki istri macam Fitri. Tanpa sadar aku terus memperhatikan dirinya hingga bayi kami tertidur dan ia letakkan di tengah kami. Lalu, tatapan matanya mengarah padaku. "Kenapa, Mas?" tanyanya lembut. Sontak saja aku meneguk ludah karena ada yang menggantung sempurna di sana.
"Aku kepengen," kataku tanpa basa-basi. "Tapi, mandi dulu kamu, bau asem."
Fitri hanya menurut tanpa mengatakan sepatah katapun. Kenapa sih dia terlihat malas melayani suaminya, harusnya senang dong kalau aku masih mau bermain dengannya. Dasar istri tidak tahu terima kasih.
Kami melakukannya dengan durasi yang sangat cepat, karena jujur saja walau sudah mandi, sudah wangi sabun tapi tetap saja rasanya hambar. Ia tidak nampak bergairah pada aktifitas kami. Ia lesu dan membuatku muak. Syukurlah aku bisa menuntaskannya jika tidak pasti saat ini aku emosi setengah mati.
Aku tidur tanpa perlu mengucap terima kasih karena telah melayaniku. Toh, itu kewajibannya kok. Lagian servicenya kurang memuaskan. Mungkin hanya dua sampai tiga menit kami melakukannya karena sungguh aku hanya ingin menuntaskan hajatku dari pada menikmati dirinya. Lagian apa yang mau dinikmati, tubuhnya saja sudah kendur dan tidak terawat begitu, padahal aku memberikan nafkah yang cukup untuk dirinya.
Ah, menyebalkan sekali pernikahanku ini. Tidak ada api panas yang membuatku menggelora. Rasanya selalu ingin berlama-lama di luar dari pada di dalam rumah. Bosan sekali, tanpa sadar aku sudah terpejam dan terbuai mimpi indah dengan banyak bidadari cantik, pastilah mereka memahami bahwa aku laki-laki kesepian.
Esok paginya aku bangun seperti biasa, tangis bayi tiba-tiba membuatku kaget dan langsung kesal karena tidak ada Fitri yang mengambil bayinya, ehm, bayiku juga. "FITRI!!" aku berseru dan tak lama pintu kamar terbuka dengan wajah Fitri yang nampak panik serta nafas memburu. "Dari mana sih, anak kok dibiarkan sampai menangis begitu, dasar tidak becus jadi istri. Membuatku bangun dari tidur saja.
Ia meraih Fikram yang masih menangis lalu menimangnya. "Cup sayang, maafin Mama ya, kan tadi Fikram bobo, dedek haus ya?" Ia mengacuhkan ucapanku memilih untuk duduk di sisi ranjang lalu menyusuinya.
Dari pada makin kesal aku pun bangkit dari tidurku, perlahan turun dan meraih handuk untuk segera mandi.
Usai mandi aku langsung masuk ke dalam kamar dan terkejut melihat Fitri justru ikut tidur dengan putra ketiga kami. Boro-boro baju kerja disiapkan, ini malah molor, enak betul jadi istri ya?
Sontak karena emosi aku langsung membentaknya. "FITRI!" Nampak ia gelagapan karena bentakanku berhasil membangun mereka. Tangis Fikram sontak pecah dan memekakkan telingaku. "Duh, pusing aku setiap di rumah, nggak ada yang bisa bikin aku tenang apa ya?" aku menggerutu sembari membuka lemari baju, mengambil seragam kerja dan kaos kaki baru.
Aku memakainya cepat lalu menyisir rambut. Sementara Fitri sudah membawa pergi anak kami keluar. Baguslah aku jadi tidak makin pusing dibuatnya. Lagian jadi istri kok nggak becus sama sekali ngurus apa-apa.
Aku gegas keluar dengan kaos kaki yang sudah terpasang. Terdengar suara gaduh dua anakku lainnya Aliyah 8 tahun, dan Dimas 5 tahun. Mereka nampak berebut nugget di piring. Aku menahan emosiku kala itu. "Kalian bisa diam tidak, Ayah tuh pusing liat kalian berantem terus," keluhku dengan intonasi rendah. Aku menarik kursi dan duduk.
Fitri datang dengan menggendong Fikram yang terus merengek. Entah ingin apa anak itu, bikin repot saja. Istriku mengambilkan nasi dan lauk pauk, lalu menghidangkannya padaku. Soal makanan aku kasih jempol tiga karena selalu enak setidaknya ada hal yang aku inginkan di rumah ini selain ketenangan.
"Mas mau bawa bekal tidak?" tawarnya, kenapa harus ditawarkan karena memang aku yang meminta, sebab ada kalanya aku ogah bawa bekal. Aku hanya mengangguk karena menu pagi ini lumayan mewah. Ayam goreng, sambal ati kentang dan sayur bening bayam jagung. Tidak perlulah aku memikirkan jam berapa ia menyiapkan itu semua untuk sarapan pagi.
Aku pun berangkat dengan menaiki motor matic yang sudah 8 tahun menemaniku. Anak-anakku telah siap dibonceng untuk ke sekolah. Dimas di depan, dan Aliyah di belakang, mereka berseru pamit pada sang ibu sementara aku diam saja, malas juga melihatnya berantakan begitu. Kan, sunnahnya seorang istri itu harus rapih, wangi dan full senyum saat mengantar suami berangkat kerja. Ini apa? Udah kaya ... gitu deh, dari pada aku di amuk netizen aku bilang dalam hati saja. Lihat saja tuh, daster lusuh, rambut acak-acakan, sambil gendong Fikram tanpa kain.
Duh, pemandangan yang sangat buruk.
Kami pergi dan aku mengantar dua anakku di sekolah yang berbeda. Jaraknya tidak terlalu jauh karena nanti Fitri kesulitan menjemputnya. Hanya butuh kurang lebih lima menit dengan motor menuju sekolah Fikram dan kurang lebih sepuluh menit ke sekolah Aliyah.
"Ayah berangkat ya!" pamitku pada mereka.
Di kantor aku meletakkan tasku di laci khusus karyawan, bekalnya aku keluarkan dari tas dan di taruh disisi sebelahnya agar tidak tumpah. Beberapa kawan mulai berdatangan. "Bawa bekal lagi, Bro!" ledek Iwan sembari nyengir kuda dan melepaskan tasnya sendiri. Lalu sibuk menaruhnya di laci.
"Kenapa emang, masakan istriku lebih enak dibandingkan kantin di sini." Aku mengatakan itu dengan jujur bukan karena sayang istriku. Eh, sayang juga sih, tapi kayaknya agak pudar karena istriku sudah tidak menarik lagi, wajar dong, ya kan?
Iwan tertawa. "Ya deh, yang istri mah beda!" serunya sembari menepuk pantatku. Sialan tuh orang. Aku pun gegas keluar untuk bersiap absen jari.
Kami bekerja seperti biasa, aku adalah mandor di salah satu pabrik, jadi kerjaku hanya melihat lapangan dengan membawa catatan. Melihat bagaimana pekerjaku bekerja, tidak terlalu berat tapi tanggung jawabnya yang besar. Jika ada kesalahan maka itu menjadi tanggung jawabku untuk mengatasinya. Jadi, setiap hari aku akan terus memantau pekerjaan mereka agar tidak ada yang salah sama sekali.
Di pabrik sepatu ini aku lumayan disegani oleh bawahanku karena kinerjaku yang baik dan ramah. Ya, aku tegas tapi tidak semena-mena.
Saat istirahat aku mengambil bekalku, seperti biasa aku mencari tempat duduk paling sudut agar bisa bersandar, memakan bekal dan menonton youtube di ponsel. Jika melihat rekan lainnya menelpon istri dan anaknya sampai video call, aku malah enggan dan malas karena toh setiap hari akan bertemu juga di rumah. Jadi, lebih asik menikmati kesendirianku ketika beristirahat.
Lalu tiba-tiba Angga datang dan menepuk pundakku cukup kencang membuatku tersedak dan langsung menenggak air minum. "Gila lo, ya!" makiku. Namun dasar bocah sinting aku justru ditertawakan olehnya. "Apa sih!" tanyaku kesal.
Ia duduk, tak lama Iwan datang juga sembari melihat ke belakang lalu ke arah kami. "Eh, lo tahu nggak ada anak baru."
Mendengar itu aku langsung mendesah kesal. "Apa sih, nggak penting banget."
"Cewek, Bro. Cakep banget, gua udah lihat tadi. Bodynya yahut banget."
Aku geleng-geleng kepala dengan mereka. Padahal keduanya sudah punya istri tapi kelakuan masih kaya setan abg. "Nggak ngaruh." Aku melanjutkan makanku.
"Namanya Mega, Kali ini lo bakal suka deh."
"Nggak ada sejarahnya seorang Hendra selingkuh ya."
"Heleh, katamu istri sudah tidak menarik."
"Ya emang, tapi bukan berarti gua bakal selingkuh lah, gila aja."
"Lo yakin, lihat Mega dulu deh baru ngomong." Aku mengabaikannya sampai seorang wanita tiba-tiba menegurku.
"Hendra kan ya?"
Sontak semuanya melongo termasuk aku, bahkan nasi dalam mulut terjatuh begitu saja saat melihat siapa yang memanggil namaku dengan begitu merdunya. "Mega ...."

YOU ARE READING
ISTRIKU TIDAK MENARIK LAGI
Romance"Duh, kok pengen sih...." Aku mengeluh dalam hati karena memang sudah lama tidak melakukannya. Akhirnya aku melirik istriku yang tengah menyusui anak ketiga kami yang berusia 6 bulan. Aku menghela nafas, menatap penampilannya yang hanya pakai daster...