02. Perempuan Tanpa Nama

15 5 13
                                    

Kristian tidak tahu apa yang harus menjadi alasannya kaget; Ratih yang tiba-tiba pingsan di antara suara riuh rendah yang berusaha tenang, atau lengan kirinya yang ditabrak dengan keras oleh presensi seorang perempuan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kristian tidak tahu apa yang harus menjadi alasannya kaget; Ratih yang tiba-tiba pingsan di antara suara riuh rendah yang berusaha tenang, atau lengan kirinya yang ditabrak dengan keras oleh presensi seorang perempuan. Kristian tahu, hari ini lengannya harus dikompres arak akibat sentuhan fisik ekstrim barusan.

Kala orang-orang sudah sibuk memperhatikan Ratih, Kristian masih menerka-nerka sosok perempuan itu. Kristian mengecek lengan kanan perempuan itu, tetapi tidak didapatinya tanda pengenal tim medis, seksi acara, atau bahkan name tag panitia. Tidak mungkin pula ada mahasiswi selain peserta ospek dan panitia yang repot-repot berlari menuju barisan mahasiswa baru untuk menolong orang pingsan.

Namun Kristian tahu bahwa ia sedang melakukan hal bodoh; mengobservasi apa yang tidak penting. Hal yang mendesak di sini adalah keselamatan Ratih, tetapi perempuan itu belum juga berbuat apa-apa. Alih-alih menolong Ratih, ia malah sibuk menyuruh diam orang-orang di sekitar Ratih yang kaget dan cemas. Tersadar dari lamunannya, Kristian berjongkok di sebelah perempuan itu dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sedari tadi; menolong Ratih.

"Tih?" Kristian memanggil Ratih berkali-kali dengan suara rendah yang panik.

Tak mendapat respons dari Ratih, Kristian menepuk-nepuk pipi perempuan itu dengan lembut, kemudian semakin jengkel dengan keberadaan perempuan lain di sebelahnya.

"Tunggu apa lagi, sih?" Kristian protes dengan nada ketus. "Orang udah pingsan begini, kenapa malah sibuk nenangin crowd? Ratih lebih pen-"

Sebelum Kristian merampungkan kalimat, sorot mata perempuan itu menatapnya intens dan sangat tidak ramah. Wajahnya seakan sedang mempermalukan Kristian dengan tatapan dingin yang penuh kejengkelan. Alisnya yang tebal mengerut keras, bulu mata yang panjang tidak membuat matanya terlihat indah saat itu. Hanya ada protes keras dalam diamnya perempuan itu yang menggertak Kristian untuk diam.

Namun tatapan itu tak berlangsung lama. Langsung setelah Kristian diam, perempuan kurus itu mengambil posisi untuk menggendong Ratih di punggung. Pun, lagi-lagi, Kristian dibuat terperanjat.

Orang ini? Mau gendong Ratih? Dengan badan sekurus itu?

"Gila, ya?" tanya Kris dengan nada tak percaya.

Kris kemudian memosisikan diri tepat seperti perempuan itu. "Saya aja," titah Kristian sembari mengambil lengan Ratih untuk ditaruh pada lengannya yang ... setidaknya lebih besar dan kuat dari perempuan itu. Lebih baik Kristian yang membopong Ratih menuju pos medis yang cukup jauh dari titik mereka sekarang.

"Kamu stay di sini." Ini pertama kalinya Kristian mendengar suara perempuan itu. Suaranya lebih tegas dan rendah dari dugaannya, begitu juga dengan tenaga yang jauh lebih kuat dari perkiraan Kristian. Tangan perempuan itu menahan Kristian untuk melakukan gerakan lain, sementara matanya seakan memindai Kristian dari atas ke bawah.

"Kamu enggak prepared," katanya sambil memandang tas Kristian yang masih tergantung di pundak kanannya. "Acara juga belum selesai."

Tanpa menunggu opini Kristian, ia langsung menggendong Ratih di punggung dan berlari menuju pos medis. Interaksi barusan terjadi dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Kristian hingga merasa seperti orang bodoh yang ingin berkontribusi, tetapi malah dimarahi wanita tua. Kristian tak pernah tercengang sebegitunya karena tatapan sinis dan kata-kata orang lain (yang sebenarnya tidak merendahkan). Hanya saja, harga diri Kristian tak ingin kalah dari perempuan yang sudah masuk ke tenda pos medis.

Mimpi di Negeri Para Terkutuk | Part of Purple Universe ProjectWhere stories live. Discover now