Purple Universe Project | Jungkook Part
Pena ini bergerak sendiri, menulis cerita dari seberkas cahaya yang merangsek keluar dari jiwa muda-mudi. Tinta menodai kertas; menorehkan cara dunia yang penuh ekspektasi, tuntutan, pilihan, dan kebebasan ini...
Aphrodita Daksha Ishwari: Kita bicarakan ini empat mata, anak muda.
Aphrodita Daksha Ishwari: Ada kafe lumayan di Bahureksa
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kristian Tjandrakumara memegang teguh prinsip bahwa manusia tidak dapat benar-benar menikmati kebebasan. Pun, jika kamu sekarang sedang merasa bebas memilih cerita apa yang kamu baca, atau memilih baju apa yang kamu pakai, atau mau makan apa setelah ini, kamu tidak dapat menjadi seratus persen bebas.
Kenapa, katamu?
Kristian ingat ia pernah membaca buku filsafat di toko buku kecil di Munich—milik Jean-Paul Sartre—bahwa kebebasan adalah kutukan. Begitu manusia bebas untuk memilih sesuatu, manusia juga dibebani tanggung jawab untuk menanggung konsekuensi apa pun yang ditimbulkan akibat keputusan berdasarkan kebebasan tersebut.
Contohnya saat ini. Kristian tahu, beberapa hari lalu, ketika ia secara impulsif mengirimkan pesan kepada seorang presensi yang ia rindukan, ia juga harus membayar kebebasan itu dengan harga yang mahal. Kristian sadar, bahwa ia harus kembali menyiapkan hatinya untuk kembali berhadapan dengan sosok Aphrodita Daksha Ishwari tanpa kembali jatuh hati pada perempuan itu.
Pagi ini, Kristian datang duluan. Ia tidak suka membuat orang lain menunggu, setidaknya setelah ia membuat Dita menunggunya siap mengutarakan perasaaannya dulu ketika mereka masih belia. Kalau untuk dirinya sendiri, sih, Kristian sanggup menunggu hingga selamanya. Menunggu Dita di kafe, menunggu kesempatan pergi ke Jerman, menunggu Papa mengizinkan mimpinya, menunggu momen untuk kembali membuat film lagi, hingga menunggu tahu nama Louisa Tanudisastro.
"Guten morgen, Kang! (Selamat pagi, Kang!)"
Ada suara ceria yang ditangkap perungu Kristian dari balik punggungnya. Suara ceria yang tak terkalahkan, suara yang Kristian rindukan selama belasan tahun, dan suara yang membuat Kristian mampu bermimpi ketika ia masih kanak-kanak.
Suara Dita. Suara Si Kecil.
Kristian sontak menoleh ke belakang, menemukan Si Kecil dengan perawakannya yang sederhana dan selalu bersinar di mata Kristian. Dita terlihat sangat sehat: wajahnya berseri, tak ada kantung mata, pipi dan bibirnya merona sehat. Dita terlihat bahagia dan Kristian begitu merindukannya.