6 - Was Crashed

7 1 0
                                    

Nala tahu jika parkiran belakang untuk siswa ini jadi lebih sejuk berkat jaring-jaring yang baru dipasang sebagai atap sementara minggu kemarin, Nala baru menyadarinya pula. Gadis itu tidak akan tahu jika ia tidak mengejar Paji dengan gilanya hanya untuk eh, nebeng dong.

Nala tahu sebetulnya, barusan ia ditolak mentah-mentah. Tapi senyuman itu masih terus berkembang, entah terpaksa atau tidak. Nala berjanji akan terus tersenyum hari ini, ia berjanji pada dirinya sendiri.

"Kampret," Tapi Nala tidak berjanji kepada dirinya untuk tidak mengumpat hari ini.

****

Dengan niat yang berkurang sedikit--karena sebagian sudah hangus terbakar api amarah sebab Paji yang meresponnya dengan ketus tadi, Nala berjalan di atas trotoar pelan-pelan--menuju tempat bimbingan belajar barunya. Yang kemarin ngebet banget pengin daftar itu, Nala sedikit sebal karena siang ini matahari seolah terlalu bahagia hingga sinarnya terasa membakar kulit. Membakar hatinya juga. Nala harap sang mentari sedang tidak menertawainya sekarang.

Langkahnya sedikit terseok karena ada rasa tidak ikhlas dalam dirinya. Jalan kaki kau rasa!? Nala tidak pernah beranggapan buruk kepada siapapun, tapi untuk sifat Paji di parkiran tadi, sejujurnya Nala dibuat agak sebal.

"Paji kenapa sih,"

Meskipun bibirnya terkatup, tapi hatinya bercerocos tanpa henti. Mengumpati matahari yang terik, memarahi lokasi bimbingan belajarnya yang sedikit jauh dari sekolah, lalu menyumpahi Paji agar dia jadi pacarnya.

Memang seperti tidak ada kapoknya.

"Tau tadi mending nebeng Zia aja ..." Nala baru menyadari ketololannya saat langkahnya sudah membawanya dekat dengan bimbingan belajar, Neuron Neuron apalah itu.

Gadis kuncir kuda itu mengelap keringatnya yang menetes melewati pelipis, bahkan poninya basah di bagian ujung. Kakinya terhenti, ia melihat plang besar dengan desain yang identik dengan merah dan abu-abu, bertuliskan KELAS 4, 5, 6 SD; KELAS 1, 2, 3 SMP/SMA; dan judul besar yang terpampang di atasnya; Bimbingan Belajar NEURON.

Sebelum ia melangkah masuk, Nala mengamati sekeliling area les itu dan tak sengaja menemukan kendaraan yang tidak asing. Motor dan helm milik Paji terparkir di salah satu sudut, dapat disimpulkan bahwa bocah itu sudah sampai terlebih dahulu sebelum ia. Ya iyalah.

Untuk mengurangi rasa sebal, Nala menarik napas dan menahannya beberapa saat, kemudian menghembuskannya lewat mulut sambil berdeham. Menata kembali penampilannya yang carut-marut sebab perjalanan panjang nan panas nan terik sebelumnya. Merapikan poni, mengencangkan ikat rambut, membenarkan seragamnya. Oke, Nala sudah siap bertemu dengan Paji--maksudnya tes di bimbingan belajar ini.

"Huhh ... Siap ya, La. Semoga dapet kelas yang sama kayak Paji. Huh."

Gadis itu mematri langkah, berhasil memijak untuk yang ketiga kalinya sebelum tiba-tiba tersenggol motor yang berlalu ke dalam. Untung saja Nala tidak terjatuh, tersungkur, ataupun terpental. Hanya sedikit terkejut saja. Lebih heran lagi ketika mengetahui bahwa pengendara itu tidak turun untuk meminta maaf atau apapun, tetap melaju ke belakang gedung untuk memarkir motor.

Nala mendengus saja, merapikan tali tasnya yang merosot sebab tersenggol tadi. Walaupun bibirnya sedikit menggeram, tapi lagi-lagi gadis itu langsung mengubah ekspresinya. Ia berjanji untuk tersenyum hari ini, kan?

"La, calm. Paji ada di dalem. That's fine, girl."

Nala terus saja menyemangati dirinya sendiri.

****

Sejujurnya Nala membaca instruksi di selembaran yang dibagikan saat promosi kemarin, kalau saat registrasi harus bersama dengan orang tua. Tapi Nala tahu Mama sedang kerja, tidak mungkin ia harus mengganggu pekerjaan Mama hanya karena registrasi singkat ini. Kemudian Nala mulai berpikir untuk sedikit mengakali petugas register. Toh, yang penting Nala bawa uang untuk pendaftaran, kan?

"Walinya ke mana, Dik?"

"Aduh, maaf ya. Mama saya sibuk, Mbak. Beneran kerjaannya nggak bisa ditinggal. Emang nggak boleh ya kalau nggak sama wali?"

Petugas register itu menggeleng pelan, "Untuk tes dan registrasi peserta harus dengan wali ya, Dik. Sebagai persetujuan orang tua dan untuk memperjelas proses transaksinya nanti."

Nala menggaruk kepalanya. "Waduh ... Gimana ya, Mbak. Masa saya harus balik lagi? Saya ke sini tadi jalan kaki dari sekolah lho, Mbak. Tolong, ya ... Mama saya beneran setuju kok, kalau bisa saya bayarkan sendiri sekarang pun bisa." Gadis itu merogoh tasnya berniat mengambil dompet.

"Mbak, 11 A 4 jadi kelas, kan?"

Suara itu terdengar ketika Nala sibuk mencari dompetnya. Nala mendongak untuk melihat orang itu, kebetulan berdiri di sebelahnya. Laki-laki tinggi, menggendong tasnya di salah satu bahu, dan jaket kulit hitam-- AHA! Sepertinya Nala kenal orang ini.

"Jadi, To. Udah mulai dari tadi duh, kamu ke mana aja? Udah sana ke dalem deh." Tiba-tiba petugas itu menjadi terdengar akrab--kepada warga Neuron saja tentunya. Karena mungkin memang terdengar aneh jika ia dan perempuan yang kira-kira dua puluh tahun itu tiba-tiba akrab dengannya yang bukan siapa-siapa--belum.

Entah karena terlalu sibuk mengamati atau memang Nala tidak sadar saja, ternyata ia sempat diperhatikan dengan laki-laki di sampingnya ini. Melihatnya dengan tatapan datar, lurus, dan nyaris tak berkedip. Nala yang merasa tak nyaman langsung mengubah gesturnya, berlagak seolah ia memang tidak ingin diperlakukan seperti itu.

"Eh, maaf, ya."

Nala mendongak setelah mendengar itu, memastikan bahwa pernyataan yang didengarnya itu untuk siapa. Ketika Nala mendongak, persis di garis lurus tatapan mereka bertemu. Si kuncir kuda itu jadi berpikir kalau kata-kata itu ditujukan untuknya.

Nala mengarahkan telunjuknya ke dirinya sendiri. "Ha?"

"Iya, tadi yang nggak sengaja gue serempet itu lo, kan?"

Gadis itu tertegun, ia pikir permintaan maaf dari si pengendara ini tidak akan meluncur sedikitpun, mengingat Nala sendiri yang tidak kenal dengan pengendara itu dan juga gelagatnya tadi yang buru-buru.

"Iya ..."

"Maaf, ya."

Nala menelan ludah diam-diam, "Iya, nggak apa-apa."

Tanpa Nala sadari, laki-laki itu sempat tersenyum singkat, sebelum kembali mengatakan sesuatu, "Lo ngapain di sini?"

Mau tak mau Nala menjawab seadanya, "Mau registrasi, tapi Mama lagi kerja."

Ada jeda sebentar di antara mereka, Nala juga diam tidak menambahkan apa-apa. Suhu di area registrasi itu pelan-pelan mulai memanas, padahal semua gedung terfasilitasi dengan AC penuh. Memang udara kali ini saja yang terlalu panas, ya.

"Mbak, bisa bantuin dia dulu nggak, ya? Saya deh yang jadi walinya."

***

Dalam waktu yang sama, persis setelah Nala mencerna kalimat tersebut, ia menautkan alis tak mengerti. Ha? Pikirnya dalam hati.

Lelaki disampingnya bisa dibilang satu angkatan dengannya, tapi postur tubuh yang jangkung dan tegap itu membuatnya malah terlihat seperti seorang tentor muda. Jika saja tidak memakai celana abu-abu SMA, mungkin Nala akan percaya-percaya saja kalau yang sedang berdiri di sampingnya ini adalah seorang pria dan bukan lagi murid SMA.

"Mana bisa gitu, To. Mbak nggak berani." Perempuan itu tetap keras kepala, terdengar sedikit menyebalkan di telinga Nala.

"Kenapa nggak berani, sih. Gapapa, Mbak, orang saya sepupunya."

Dalih lelaki itu membuat Nala sedikit melotot, tapi berhasil ditahan sebab Nala sudah bisa membaca suasana yang terjadi. Akting yang bagus, lanjutkan.

"Bener?" Nala melihat perempuan di balik meja administrasi itu mengangkat alis tak percaya. Sebetulnya Nala masih belum siap bila ditanyai macam-macam sebagai pembuktian.

Tapi lelaki itu dengan percaya dirinya malah mengangguk enteng. "Kok ngeyel, sih. Buruan, Mbak, habis ini aku ada kelas loh."

Ada sedikit jeda setelah itu, Nala mendelik saja tak tahu apa-apa. Bahkan lelaki di sampingnya malah terlihat lebih santai dari pada dirinya sendiri. Kemudian, perempuan itu akhirnya bergerak. Tangannya bergerak mencari sesuatu, kemudian digelarnya selembar kertas di atas meja.

"Ya udah, isi sini."

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: May 02 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Woy, Paji!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora