09. Senja Dahulu

6 5 0
                                    

Bermain kelereng hingga menangis karena kalah.

Bermain layangan dan berlari mengejarnya kala layangan itu putus dan terbang bersama angin.

Dahulu kedua benda itu amat berharga, bahkan sampai sekarang pun masih melegenda.

Seru sekali bermain dari pagi hingga sore, pulang hanya untuk makan sebab dikejar Ibu dengan sapu ijuk.

Dan ketika senja tiba, langit menjadi jingga, bangau-bangau terbang bersama diatas kepala.

Suara lantunan ceramah penghantar maghrib menggema dipenjuru kampung.

Hingga ras terkuat dibumi datang membubarkan permainan. Wanita dengan daster dan sapu menghampiri dengan suara lantangnya.

Menyeru agar semua pulang ke rumah masing-masing. Dan ketika kamu menolak pulang dengan dalih lima menit lagi, Ibu menjewer telingamu dan menyeretmu pulang.

Kamu memberontak, kamu kesal kala itu.

Tapi sekarang...

Kamu merindukan semuanya...

Kamu disuruh mandi dan berangkat pergi mengaji. Meski marah, kamu tak berani membantah. Kamu tetap pergi, tetapi barangkali kamu hanya sampai pada warung dekat masjid.

Tidak jadi mengaji, justru kamu makan sepiring lontong campur bakwan dengan temanmu.

Dan ternyata berita bahwa kamu tidak jadi pergi mengaji sampai pada telinga ibumu.

Kamu dimarahi, dan kamu menangis dan kesal. Kamu pergi ke kamar, membanting pintu dan menangis seolah kamu paling menderita.

Tapi sekarang kamu sadar, ibu jauh lebih lelah, ibu jauh lebih sakit.

Kamu benci karena dimarahi.

Tapi sekarang, kamu ingin dimarahi kembali.

Kamu benar-benar merindukan saat itu.

Senja dahulu memang se indah itu, ternyata...

-Rona Deyanda.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ruang Tersepi DiriWhere stories live. Discover now