02

131 32 1
                                    

Lampu kuning memenuhi kehangatan malam, terasa syahdu ditemani denting piano dan aroma sage mewah. Di pojok klub mewah Seoul, duduk tiga serangkai serupa trio kwek-kwek menghibur maknae grup mereka yang sedang sesenggukan.

"Hahaha, aku bodoh. Seharusnya aku tahu pasti ditolak jiejie huhuhu..." adu Chenle, botol-botol kosong bergelimpangan di sekitar pria muda berambut oranye menyala.

"Chenle, beneran deh kau buang-buang undangan Mark-hyung. Kalau cuma mau mabuk gini mah, kita ke Palais aja." gerutu Jaemin.

Jeno sudah membayangkan mata Jaemin memutar sambil menyayangkan kesempatan networking yang hilang begitu saja-benar sedetik kemudian Jaemin berlaku persis begitu. Padahal boleh susah dapat undangan eksklusif, belum tentu hyung bisa dapat lagi, bla bla bla. Ditambah memarahi Chenle soal alkohol; Jaemin komplain bagaimana harga di Palais-klub malam dua blok sebelah-setengah harga di Midnight Serenade.

"Sudah, sudah Jaemin. Dia gak bakal ingat." lerai Jeno, memisahkan Chenle yang mulai hilang kesadaran dari cubitan Jaemin. Jeno tidak tahu signifikansi klub eksklusif ini, tapi dia peduli pada tangan putih Chenle yang memerah.

Jaemin menggerutu, lagi, tapi berakhir beranjak membayar tagihan Chenle, "Jeno, aku akan antar Chenle pulang. Emaknya bisa tambah marah kalau dia gak pulang. Kamu gimana?"

Jaemin sudah seperti kakak Chenle sebab keluarga mereka dekat-punya bisnis bersama dan beberapa joint venture. Jeno baru sering bergaul dengan mereka setelah mengenal Jaemin di universitas, tapi keduanya adalah sahabat berharga Jeno. Terlebih kantor mereka semua berdekatan membuat hangout lebih mudah.

"Aku naik subway sendiri saja, Jaemin. Lebih dekat, kalau mengantar aku juga nanti kamu pulangnya kemaleman. Dicariin istri lho." kata Jeno, mengingatkan Jaemin dia baru menikah dua bulan, sambil memakaikan jaket pada sosok Chenle yang wajahnya sudah menyatu dengan meja.

Jaemin berekspresi khawatir-seperti induk ayam-melihat sekeliling, memastikan kalau tidak ada yang mengikuti mereka atau hal mencurigakan lainnya. Yah, setidaknya Jeno berotot karena suka ikut triathlon, seharusnya ditinggal sendiri tidak terlalu masalah.

"Ya sudah, bye Jeno. Take care!" ujar Jaemin, sebelum dia berlalu memapah Chenle keluar dari Midnight Serenade.

Rasanya klub menjadi jauh lebih hening sesudah kepergian badai tropis merah jambu-jeruk mandarin berwujud Jaemin dan Chenle. Jeno memutar gelas gin yang tadi dipesankan Jaemin lalu melirik jam tangan-malam masih cukup muda, sedikit lewat jam 12.

Jeno senang ditemani sahabat-sahabatnya, tapi ia jauh lebih menghargai kesendirian. Pianis klub samar-samar memainkan medley lagu 80s sebagai latar belakang, salmon skin porsi jumbo, ditemani suasana nyaman hadir sesuai harga yang dipatok jazz club ini.

Jeno memutuskan bermain satu match dulu sebelum pulang. Tune yang sesuai selera dan gorengan enak, Jeno bukan pria yang sulit dibuat senang. Lagipula dia harus menunggu diskon toko roti di stasiun kalau mau sarapan sourdough besok pagi.

"Apa boleh seorang pria tampan duduk sendiri di malam yang indah ini?" rayu Renjun.

Tanpa Jeno sadari, dia tidak lagi sendiri memainkan Mobile Legend di telepon genggam. Renjun telah tiba di sisi bar tersebut, sempurna dalam balutan kemeja satin abu-abu dan eyeliner smokey memugar mata indahnya.

"..."

Walaupun bidadari kayangan hadir di hadapan Jeno, cuma bunyi sound effect Mobile Legend yang menggema di antara dua insan. Peluh dingin membasahi pelipis Renjun dan urat nadinya menegang. Apa orang ini tidak sadar ya, berisik bunyi "you have slain an enemy" dari ponselnya terdengar amat sangat jelas sampai ke meja barista?

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang