Part 06

434 38 0
                                    

Mata itu memejam, saat menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya, suara ombak yang bersahutan dilantai, dan rasa geli dikakinya yang menginjak pasir.

'Jadi seperti ini rasanya berada di pantai? Rasanya sangat menenangkan...'

Pikiran Erland rasanya sangat tenang, seolah-olah semua beban yang ada dipikirannya seketika hilang ketika berada ditempat ini.

"Dek, kenapa disini? Kan udah dibilangin hari masih panas, kita kesana aja yuk!" Erland memandang Alden yang tengah menunjuk ke arah bawah pohon Ketapang dengan tatapan permusuhannya.

Sialan... Dia hanya ingin menenangkan dirinya, apakah itu salah? Kenapa dia selalu saja diganggu oleh manusia yang satu itu?

"Panas? Disini tidak panas sama sekali... Kau terlalu berlebihan bodoh!"

Degh...

Alden sekali lagi harus mendapatkan kata-kata kasar dari adiknya itu. Siang ini matahari nya sangat terik, bahkan panasnya sangat menyilaukan mata, dia tidak ingin adiknya sakit karena itu, apakah dia salah?

"Tapi disini sangat panas, dek. Kakak nggak mau kamu sakit," Alden berbicara lembut tanpa ada rasa kesal sedikitpun dengan perkataan adiknya tadi.

"Sudah ku bilang, disini tidak panas sama sekali! Apa kau tuli, atau tidak mengerti bahasa?" Bentak Erland, hei ayolah... Dia adalah seorang raja, dia sudah terbiasa berada dibawah teriknya matahari sejak dia masih kecil, dia terbiasa berperang dalam waktu berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan dibawah teriknya matahari, jadi itu sama sekali tidak berpengaruh padanya.

Andai dia bisa, ingin sekali dia berteriak didepan wajah pria yang umurnya masih jauh dibawah umur nya yang sebenarnya, bahwa dia bukanlah Erland. Dia adalah Fandricko, seorang raja perkasa yang hidupnya tidak pernah diperintah, atau diatur-atur oleh siapapun.

"Erland..."

Erland menghempaskan kasar tangan Alden yang memegang tangannya untuk membawa anak itu untuk berteduh dibawah pohon.

"Jangan pernah menggangguku, sialan..." Erland memandang tajam mata Alden, sudah cukup dia diam selama ini. Dia benar-benar sudah jengah dengan Alden yang selalu saja menempel padanya.

"Baiklah kalau begitu, maafkan kakak, dek..."  Ucap Alden dengan nada lirih, sebelum dia berbalik pergi.

"Aku bukan adikmu..." ucap Erland dengan nada pelan, namun masih bisa didengar oleh Alden, membuat mata pria itu menjadi berkaca-kaca.

'Marah banget sama kakak yah, dek? Kayaknya risih banget sama kehadiran kakak. Kakak minta maaf, kakak nggak maksud buat cari masalah sama kamu tadi pagi, tapi marahnya kok bisa sampe segininya?'


(っ˘̩╭╮˘̩)

"Adikmu dimana, Al?" Dania duduk di samping putra sulungnya yang terduduk sambil melamun di gazebo.

"Dia ada dipinggiran pantai, Ma," jawab Alden.

"Loh? Tapi ini cuacanya panas banget loh, kamu kenapa nggak panggil adik kamu? Dia masih belum sembuh total loh, gimana kalo dia jatuh sakit gara-gara cuaca?" Terlihat jelas sekali ekspresi khawatir di wajah wanita paruh baya itu.

Alden memandang ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sebelum dia membuka suaranya dan menceritakan kejadian tadi kepada sang ibu.

Dania yang mendengar cerita sang putra pun, menunjukkan ekspresi yang tidak bisa diartikan, namun dia tersenyum hangat sambil memegang tangan putra sulungnya.

"Dia hanya kesal saja, nak. Dia tidak mungkin marah padamu," ucap Dania dengan tatapan teduhnya.

"Tapi dari tatapannya sangat jelas bahwa dia sedang marah, Ma. Dia memang sudah berubah sejak dia bangun dari komanya, namun aku tidak berpikiran macam-macam. Mungkin saja itu karena dia hilang ingatan. Tapi perubahannya semakin jelas sekarang, Ma. Apa ini karma buat aku karena gara-gara aku dia celaka?" Lirih Alden, dengan tatapan sedihnya.

"Dia tidak akan berubah sayang, dia tetaplah Erland yang dulu," Dania mencoba untuk meyakinkan putranya bahwa semua akan baik-baik saja, dan anak bungsu mereka tidak akan berubah.

"Tapi aku takut jika dia benar-benar berubah, Ma..." Lirih Alden.

"Percaya sama Mama, nak. Tidak akan ada yang berubah, dia seperti itu karena dia kehilangan ingatannya. Jika dia sudah ingat kembali, dia pasti akan seperti dulu lagi."

"Tapi bagaimana jika dia amnesia permanen, Ma? Aku nggak mau dia kayak gini terus..." Balas Alden.

(๑´•.̫ • '๑)

Erland yang kini masih sibuk memandangi indahnya warna biru laut, kini tiba-tiba merasakan pusing dikepalanya.

Dia memijat pelan pelipisnya, namun rasa pusing itu masih saja belum hilang.

Tubuhnya hampir saja jatuh jika saja...

"Nak, Papa kan sudah bilang jangan sampai kepanasan, imun kamu lemah loh..." Varen bersyukur karena untung saja dia datang tepat waktu, kalau tidak mungkin tubuh putranya sudah tersungkur ke pasir.

Sedangkan Erland kini merutuk dalam hatinya, dia masih menikmati suasana ini, dia masih sangat ingin menikmati suasana pantai, tapi dia ingat...

Ini bukanlah tubuh miliknya...

Ini bukanlah tubuh raja Fandricko yang perkasa, ini adalah tubuh seorang Erland, putra bungsu Keluarga Dixon.

Varen yang melihat anaknya melamun pun, langsung saja menggendong tubuh itu dan membawanya untuk berteduh dibawah pohon.

Sedangkan Erland yang menyadari akan hal itu langsung saja merasa kaget, dan ingin turun dari gendongan ayah dari si pemilik tubuh.

"Menurutlah Erland..." Tegas Varen, membuat pemuda itu terdiam.

"Loh sayang, Erland kenapa?" Tanya Dania kala melihat sang suami sedang menggendong tubuh putra bungsu mereka dan membawanya kebawah pohon, dimana Dania dan Alden sudah menggelar tikar di sana.

"Tadi dia merasa pusing, untung saja aku tepat waktu. Kalau tidak mungkin saja dia sudah pingsan di sana," jawab Varen, membuat Dania dan putra sulungnya menatap khawatir ke arah Erland.

Dania mendekat ke arah sang putra yang sudah duduk di sana, sambil mengecek suhu tubuh anak itu dengan punggung tangannya.

"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir," Erland menyingkirkan tangan Dania.

Dia masih merasa belum nyaman dengan keadaan sekarang, dimana dia sering diperhatikan, dikhawatirkan, dan dijaga terus menerus oleh mereka. Dia masih belum terbiasa dengan hal itu, karena di kehidupannya yang sebelumnya, tidak pernah dia diberikan kasih sayang seperti ini.

Ibunya telah meninggal karena dibunuh oleh ayahnya sendiri sejak dia kecil, ketika dia menikah pun dia belum pernah diperlakukan seistimewa ini oleh istrinya.

"Istirahat dulu yah, nak? Al, bawa adikmu ke resort. Biarkan dia beristirahat hari ini!" Ujar Dania, namun malah dibalas dengan gelengan kepala oleh Erland.

"Tapi kamu sakit, nak... Lihatlah wajah mu terlihat pucat..." Tegur Varen dengan nada lembut, sedangkan Alden sedari tadi hanya diam saja. Dia tidak ingin merusak suasana hati sang adik jika dia membuka suara.

"Berhentilah khawatir secara berlebihan. Sudah ku bilang aku baik-baik saja," Balas Erland dengan nada pelan, namun terdengar tajam. Membuat keluarganya saling pandang satu sama lain.






















TO BE CONTINUED

♔ Transmigration King ♔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang