Lembar 3 | Utuh tapi hancur

666 102 27
                                    

♪ Lagu untuk di putar : Utopia - mencintaimu sampai mati ♪

“Enak, ya, punya keluarga lengkap. Iya enak banget. Tapi kalau sudah tidak satu rumah lagi, gimana?”

• Semesta Radhega

— 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 —

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

— 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 —

🍂

      Tanpa henti, tak ada raut kelelahan bahkan tak ada helaan napas yang terdengar berat. Jam terus berdetak, mengingat pagi sudah kembali menyapa. Sedangkan Bayu, lelaki itu terjaga sepanjang malam di kamar Dhega.

      Ia bisa saja mengesampingkan pekerjaannya. Akan tetapi, Bayu tak akan pernah bisa mengesampingkan anaknya. Keluarga serta anaknya adalah segala-galanya. Jika mereka terluka karenanya, itu akan menjadi penyesalan terbesar untuk Bayu.

      Seperti yang telah Bayu alami beberapa tahun silam saat dirinya masih bersama dengan Rosa, Bayu belajar dari sana—bahwasanya waktu bersama anak itu sangatlah berharga.

      Menatap salah satu tangan Dhega yang terbalut dengan pernah dan sedikit tertinggal bercak darah di sana, sorot mata Bayu begitu sendu. Seperti ada yang terkoyak jauh di dalam hatinya saat kejadian semalam terlintas.

      “Ayah?”

      Suara serak itu terdengar lirih memasuki gendang telinga Bayu, lekas mendongak dan menatap kedua mata yang terlihat begitu sayu. Setelah ini anaknya pasti akan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.

      Bayu membantu Dhega untuk duduk, menyandarkan punggung anak itu pada kepala kasur. Bayu sengaja membiarkan anaknya mengumpulkan seluruh nyawanya.

      “Ini kenapa?” alis Dhega berkerut, anak itu tampak linglung saat tahu tangannya sudah terbalut dengan perban dan sedikit memperlihatkan bercak darah.

       Sekali lagi, demi memastikan apa yang sebenarnya terjadi—Dhega menatap Ayahnya. Lelaki itu hanya menatapnya sendu, sebelum pada akhirnya menariknya ke dalam pelukan.

      Dan dari situlah Dhega baru memahami satu hal, jika apa yang telah terjadi bukanlah karena dirinya—tapi Haga. Tahu akan hal itu, Dhega menunduk lesu—menenggelamkan wajahnya pada pundak sang Ayah.

      “Maafin Dhega, ya, Yah ... Dhega nyusahin Ayah lagi.”

      Di sana Bayu menggelengkan kepala kuat, ia mulai mengusap surai hitam Dhega lalu sembari berbisik, “Gak, gak, Dhega gak perlu minta maaf sama Ayah. Dan anak Ayah gak pernah nyusahin.”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rumah Tanpa PintuWhere stories live. Discover now