Chapter 6 : Kamp Penyintas

1 0 0
                                    

Chapter Sebelumnya

Di luar, sekelompok orang sedang mengerubungi mayat Paman Fadil yang kemarin malam dibunuh oleh Aksa.

"Lihat mayat ini, luka di tubuhnya ini tidak digigit zombie, juga tidak berubah menjadi zombie. Seseorang membunuhnya."

"Pak Iwan, diperkirakan ada yang membunuhnya. apa yang harus kita lakukan?" Mereka memandangi seorang pria paruh baya berperawakan kekar, menunggu jawabannya.

"Diam, jangan berisik. Mungkin pembunuh itu masih berkeliaran di sekitar sini. Kita tidak tahu apa pembunuh itu sudah mengetahui keberadaan kita dan bersiap-siap untuk menjebak kita. Kita tidak akan berurusan dengan pembunuh itu. Kita harus pergi dengan hati-hati."

Semua orang beranjak pergi, berusaha menjauh dari tempat kejadian.

****

Chapter 6 : Kamp Penyintas

Aksa menghabiskan malam pertama dengan aman di dalam gedung. Tetapi di seluruh bangunan berlantai dua belas ini, hanya kurang dari tiga puluh orang yang masih hidup.

Pada saat ini, mereka yang selamat sedang menjelajahi gedung, mecoba mencari tahu apa yang terjadi semalam.

Saat mereka melewati kosan Freya, perhatian mereka tertuju pada mayat Paman Fadil yang terbaring di sana. Mayat itu terlihat berbeda dari yang lain. Dengan cermat, mereka menyelidiki luka-lukanya dan menyimpulkan bahwa bukan zombie yang menyebabkan luka-luka tersebut, melainkan pisau tajam.

Dia telah melakukan pemburuan besar-besaran semalam dan berhasil membersihkan semua pemakan otak di lantai pertama. Mereka akan menyadari bahwa ada seseorang yang berusaha melawan makhluk-makhluk itu.

Itu tidak menjadi masalah. Di gedung ini, selain monster jiwa dan roh hidup, tidak ada yang bisa mengancam Aksa. Namun, akan merepotkan jika dia berurusan dengan orang-orang itu. Rencananya bisa saja terhambat.

Meski mereka berbisik, Aksa dapat mendengarnya. Bagaimanapun, pendengaran dapat dilatih. Setelah sepuluh tahun berlatih di hari-hari terakhir, ia dapat membedakan suara langkah kaki, pembicaraan, dan pertempuran dalam sekejap.

Langkah kaki mereka semakin meredup, hingga akhirnya hilang dalam kegelapan koridor. Aksa menduga bahwa mereka telah meninggalkan area tersebut.

"Mereka sudah pergi. Kita juga harus segera menuju lantai selanjutnya," ujar Aksa, suaranya rendah namun tegas.

Freya menatap Aksa dengan kebingungan. "Mengapa kita harus sembunyi dari orang lain? Kita bisa bergabung dengan mereka," ujarnya, mengutarakan pendapat.

Mendengar suara samar-samar pembicaraan mereka, Ia mendengar salah seorang dari mereka memanggil Pak Iwan. Freya mengingat salah satu tetangga mereka bernama Iwan, seorang veteran yang pernah terluka dalam pertempuran.

Freya mempertimbangkan untuk bergabung dengan kelompok tersebut, menganggap veteran perang yang memiliki segudang pengalaman dalam bertahan hidup akan memberi perlindungan. Namun, ia tak berniat sendirian, mengajak Aksa untuk ikut serta.

Namun, Aksa memiliki pandangan yang berbeda. "Tidak, bergabung dengan mereka akan memperhambat kita. Ayo kita segera pergi," jawabnya dengan mantap.

Meskipun agak kecewa dengan keputusan Aksa, Freya memilih untuk tetap berada di sampingnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman di dekat Aksa, meskipun sikap dan keputusannya terkadang terasa aneh.

Aksa sudah memikirkan segala kemungkinan dengan matang. Dalam kiamat, monster mungkin menakutkan, tetapi manusia bahkan lebih menakutkan. Bagaimanapun, Aksa tidak terlalu tertarik untuk terlibat dalam urusan sosial.

Sekali Lagi, KiamatWhere stories live. Discover now