37. Penyesalan❄️✨

10 8 0
                                    

Happy Reading🍭🍭

Klik ⭐⭐⭐⭐⭐⭐

kalian di sini juga harus berpikir loh, buat menyimpulkan beberapa hal yang tersirat, alias belum keungkap yang sebenernya terjadi🖐🏻

kalian di sini juga harus berpikir loh, buat menyimpulkan beberapa hal yang tersirat, alias belum keungkap yang sebenernya terjadi🖐🏻

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

❄️

"Udah di chat?" tanya Haru, keduanya sudah di mobil.

"Heum," Aya mengangguk pelan.

Aya sedari tadi hanya berdiam diri bersandar ke kursi sambil memandangi ke arah luar, Haru tidak berani bertanya ia hanya ingin Aya tenang dulu.

"Haru?"

"Hmm, kenapa?" jawab Haru dengan lembut membuat Aya langsung menengok, nada bicara Haru yang tak datar ini sungguh terdengar sopan, seakan membuai telinga lalu langsung menari-nari di dalam hati dan pikiran. Sayangnya, itu belum mampu meruntuhkan dinding pembatas di hati Aya.

"Hmm, gue sakit sebenernya," ungkap Aya ingin jujur, namun masih terlihat ragu.

Haru menepi ke bahu jalan bermaksud ingin mendengarkan Aya dengan baik, "Sakit? Sakit gimana?" tanya Haru agak ragu juga. Tapi, jujur Haru senang Aya akhirnya mau jujur.

"Lo pernah ke psikiater kan? pasti tau macam-macam penyakit mental kan?" tanya Aya.

Haru langsung mengangguk, sorot matanya lurus ke arah mata Aya yang nampak sembab itu. Memang benar Haru juga pernah merasakan salah satu penyakit mental itu, tentu Haru tau.

"Sejak SMP, gue udah ngerasain banyak gejala gak wajar. Trauma, takut, suka pingsan, emosi gue gak ke kontrol. Tapi gue pendem semua itu berbarengan sama semua masalah gue. Dan bisa kok, bertahan sampe lulus SMA. Terus pas di bawa ke psikiater, sama Kak Arnan. Katanya Dokter bilang, udah pasti gue itu mengidap BDP sejak SMP itu," ungkap Aya, hanya sepengetahuannya.

Haru mengangguk paham di depan Aya, namun lain di pikirannya. BDP ya? Mungkin iya, jika awalnya ia BDP. Tapi, kenapa Aya takut darah, artinya takut pada satu hal, satu hal biasanya berupa kejadian? Jika begitu.....bukankah itu lebih ke PTSD atau Post-traumatic stress disorder?

"Oke, gue ngerti sekarang kenapa lo kaya gini," ucap Haru, tak berani menyampaikan pendapatnya itu, "Tapi, lo udah berobat rutin kan? Lo ada obatnya kan? Kaya gini harus terapi rutin," ucap Haru, ia berpengalaman dengan ini, sepuluh bulan bolak-balik terapi di psikiater sudah ia jalani. Alumni psikiater jelas paham.

Sudut bibir Aya sedikit terangkat, bahagia juga jika ada yang memastikan keadaanya seperti ini, "Sebulan sekali gitu sih ke psikiater, soalnya gue gak parah banget, lo liat aja hari-hari gue normal aja kan? Sesekali kumat itu bisa di atasi obat. Kalo kejadian tadi, gue lupa bawa obatnya," ungkap Aya.

"Lain kali, bawa obat lo. Jangan ragu minta tolong ke gue kalo lo dalam keadaan gak nyaman. Mau gue lagi di ujung dunia pun, gue balik buat bantu lo. Jangan di pendem sendirian, gue paham karena gue juga pernah ngerasain," ungkap Haru serius. Namun, dengan Haru serius begini Aya malah merasa geli, tak pernah Haru menunjukan perhatiannya secara langsung begini.

Will We Be Happy?Où les histoires vivent. Découvrez maintenant