24.

304 42 10
                                    

#Haruno Sakura

.

Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupku. Memikirkan Naruto yang sekarat, membuatku panik setengah mati, bahkan asam lambungku mulai naik, pahit mencekat di kerongkongan memicu rasa tidak nyaman, hingga aku harus segera memuntahkan semua isi perutku. Sasuke yang sejak tadi bersamaku, mungkin sudah jengah, ingin menamparku karena kepanikan dan ocehan yang terlewat batas, tapi dia dengan sabar dan telaten, meyakinkanku berulang kali jika tidak akan terjadi hal buruk pada Naruto. Aku butuh bukti, setidaknya sesuatu yang kuat, fakta jika apa yang kupikirkan saat ini, tidak akan terjadi. Sampai pintu terbuka, Sai sekarat, membuatku yakin jika Tuhan masih bersama keluargaku.

Semua terlewati begitu saja, Sasuke dengan sukarela berani mengantarkanku sampai depan rumah, aku tahu dia cemas, aku tahu dia masih menimbang permintaanku, saat itu aku ingin berkata untuk jangan mengantarkanku, tapi kulihat tekad Sasuke sangat kuat, dia berani masuk kawasan lawan, disaat perselisihan Sai dan Naruto terjadi beberapa jam yang lalu. Aku tidak bisa berbuat banyak selain mengusap punggung tangannya. Aku beberapa kali meminta untuk diturunkan di persimpangan jalan, tapi dia menolak. Setibanya di depan rumah, Sasuke membuat lelucon, jika dia juga ingin ikut masuk ke dalam rumah. Aku berdecak kesal dengan ucapan bodohnya. Salam perpisahan dengan kecupan singkat, dan Sasuke memberiku atensi lebih untuk selalu menghubunginya kapanpun dan dimanapun. Kupikir jawaban 'terimakasih' tidak cukup keren diungkapkan, sampai kata 'aku mencintaimu' menjadi perpisahanku dengannya.

Naruto sudah di depan pintu, mengawasiku dan Sasuke, setelah melihat mobil merah milik Sasuke sudah tidak terlihat lagi, aku mulai melangkah ke teras, menghindari tatapan langsung Naruto. Aku ingin melewatinya begitu saja, tapi Naruto menghalangiku, tangannya menyentuh daguku, aku sedikit mendongak ke atas, membeku ketika matanya terhubung dengan mataku.

Naruto memiliki beberapa memar di wajahnya, hidungnya tidak bengkok, tapi cukup bengkak, dadaku langsung ngilu, merasa bersalah.

"Naruto aku,,,"

Belum aku selesai bicara, Naruto menarikku, memelukku erat-erat, sambil menghela nafas dalam "Brengsek, Jangan menghilang lagi Saki". Katanya.

"Aku baik-baik saja" Aku mengusap punggungnya dengan lembut, menenangkan. Aku tidak ingin banyak bicara disini, dia butuh validasi bahwa tidak ada hal buruk terjadi padaku.

"Kau bersamanya?" Kata Naruto. "Aku menyuruhmu untuk tetap diam di mobil, tapi, berakhir pergi dengannya, sial".

"Aku hanya,," Bingung aku harus menjelaskan semuanya, aku tidak bisa berfikir secara utuh untuk saat ini. "Dimana Ayah?" lanjutku.

"Dia belum tidur, menunggumu semalaman" Ucap Naruto.

Aku menghela nafas, melepaskan pelukan Naruto "Kakak memberitahu semuanya pada Ayah?".

Naruto diam, aku cukup yakin, sikapnya mengatakan jika Naruto sudah menceritakan semuanya pada Ayah.

"Maaf aku khawatir, langkah pertama ynag harus kulakukan adalah menceritakan semuanya" Kata Naruto dengan nada rendah.

"Tidak, kakak sudah melakukan hal yang tepat" Bisikku padanya. "Untuk sekarang biarkan urusan ini menjadi tanggung jawabku" Aku tersenyum kecut padanya, Naruto merasa tidak yakin padaku, lamat-lamat aku berdoa, dengan tegap aku melanjutkan masuk bersiap menemui Ayah.

Di dasar tangga aku masih menimbang, sebagian dari diriku ingin langsung menuju kamar, mengunci pintu untuk menjernihkan pikiran , tapi semakin lama aku diam, semakin lama aku menundanya, akan semakin buruk keadaannya. Aku harus mengahadapi Ayah, apapun risikonya.

Menenangkan diri, aku berjalan menuju ruang kerja Ayah, mengetuk pintu perlahan, mendorong pelan. Benar kata Naruto, Ayah sedang menungguku, dia duduk di sofa, matanya berkilat tajam seperti biasa. Ekspresi Ayah lebih dingin dari sebelumnya, kaku, tidak ada senyuman.

Just the Two of UsWhere stories live. Discover now