1/Salah Sangka Salah

6 6 0
                                    

Dulunya ia selembut roti dan kasihnya semanis permen. Ya, itu dulunya. Kami berdua sudah bersama semenjak masa kuliah. Keharmonisan di kehidupan masa mahasiswa yang tak berlanjut sampai sekarang. Sebuah perubahan besar terjadi padanya, bukan tentang rupanya yang tak semuda dulu lagi, bukan pula tentang cara berpakaiannya yang tak lagi keren.

Aku tidak mempermasalahkan itu semua. Hanya satu yang menjadi masalah besar dia bagiku, yakni tingkahnya. Ia tak lagi bermanja, ia tak lagi sok lucu, tak lagi melakukan segala sesuatu yang membuatku merasa menjadi seorang tuan putri. Rasa kekesalan sudah tak bisa kupendam. Ini sudah hampir setahun. Apakah dia berpura-pura? Tidak, ini sudah keterlaluan. Seharusnya, katakan saja padaku jikalau ia muak menjalin cinta bersama. Bukankah itu lebih baik?

Kini, Hiro bukanlah Hiro. Ia kejam. Ya, walaupun bukan kejam secara fisik. Tetapi, hatiku sungguh hancur. Haruskah aku menjulukinya 'My Devil in My Life' Ya, siapa yang mempermasalahkannya. Ketikaku sendiri, berkata-kata tanpa lawan bicara dengan menyebut My Devil.

Aku tahu itu sungguh gila. Pada tanggal 29 desember ini, tepatnya di saat sabit berada jauh di atas kepala. Aku berdiri ditemani Hiro, seorang suami cuek yang hatinya sudah membeku. Kami di teras rumah, saling berhadapan dengan tatapanku yang tergambar banyak luka.

"Apakah kamu menyukaiku?" tanyaku.

"Ya. Itu sebabnya aku menikahimu," jawabnya.

"Kamu suka perempuan lain ya?" Aku kembali bertanya.

"Tidak. Mengapa memfitnahku?" Ia menatapku tajam.

"Panggil aku sayang lagi seperti kita dulunya, aku tahu itu kekanak-kanakan. Tapi, aku mohon sekali saja," pintaku dengan air mata berlinang.

"Sayang. Kamu puas sekarang? Aku sibuk bekerja. Jangan menangis ga karuan deh!"Hiro meninggalkanku seorang diri.

Ia masuk ke rumah tanpa menarik tanganku. Kini, air mataku jatuh tak setitik lagi. Aku berjalan pelan ke rumah. Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Lalu, kuhempaskan badanku di atas kasur.

Tiba-tiba laki-laki yang kubenci itu menyahuti namaku. Ia menyuruhku membuatkan secangkir teh manis hangat untuknya. Aku tak beranjak dari atas kasur sampai ia bosan dan lelah memanggilku terus. Kemudian, ia muncul di depan wajahku sambil membawa pisau. Tentu saja aku spontan berteriak.

"Kamu sepenakut itu? Ini hanya pisau plastik untuk memotong buah. Dasar cewek gila, buruan bikinin aku teh," ucapnya yang membuatku kesal sekesal-kesalnya.

Kuangkat badanku dari atas kasur tuk segera ke dapur. Dengan cepat, kubuatkan teh. Teh kali ini sungguh hambar, tak kugunakan lagi kasih sayangku ke dalamnya. Setelah selesai menghidangkan teh hangat di atas meja, tangannya langsung menyergap cangkir teh tersebut. Ia seperti orang yang sudah 2 tahun tak minum.

Baru seteguk diminum olehnya, ia langsung memuntahkan minuman tersebut ke bajuku. Air mataku tak dapat kubendung. Sikapnya sudah melewati batas. Ketahuilah bahwa aku juga punya batas sabar.

"Aku ingin pisah!" kata-kata yang keluar spontan dari mulutku.

Tiba-tiba saja, sebuah pelukan hangat mengejutkanku. Siapa lagi kalau bukan Hiro? Ia memelukku sekilas dan dengan tergesa-gesa aku tak merasakan kehangatan lagi. Hiro meraih tanganku dan membawaku ke kamar. Hiro dengan penuh pemaksaan meminumkanku segelas air putih.

Keesokan harinya...

Aku terbangun dari tidur. Kulihat Hiro bersikap manis kepadaku. Ia berubah kembali ke jiwanya yang dulu. Jiwa penyayangnya telah bangun. Ternyata, kemarin-kemarin itu jiwa penyayang miliknya sekedar tertidur.

"Vaira, bikinin aku secangkir teh lagi dong. Jangan lupa tambahin gulanya ya," ucap Hiro dengan nada yang sungguh melelehkan hatiku.

"Hmm. Baiklah, aku ingin aku yang menegukkanmu tehnya," balasku.

"Apa? Ini masih sangat pagi dan nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Jadi, telingaku sedikit bermasalah, aku tak bisa mendengar dengan jelas."

"Oh begitu ya, ga masalah kok."Aku membuat teh dengan senyum lebar sekarang. Kubuat dengan penuh cinta untuk suamiku tersayang. Aku sungguh terharu. Pagi ini sangat penuh cinta, sesudah aku menaruh teh di atas meja, tanpa basa-basi aku mencium pipinya. Hiro terkejut dibuatnya.

"Maafkan aku, tapi itu membuatku seperti terkena serangan jantung. Kumohon jangan menciumku lagi. Kamu ga marahkan aku bilang gini? Aku ga bermaksud nyakitin hati kamu," jelas Hiro.

Aku menggeleng-gelengkan kepala ke kanan dan ke kiri memberi isyarat jawaban bahwasannya aku baik-baik saja. Tatkala, kami sedang tatap-tatapan indah, pintu rumah diketuk.

Aku dan Hiro pergi ke ruang tamu. Aku membuka pintu dan mempersilahkan seseorang itu masuk. Seseorang yang tak asing, kurasa aku mengenalnya. Ya, memang dia pernah kukenali. Ia adalah Zeo, seorang lelaki tampan di universitasku dulu, teman satu jurusan. Walaupun kelebihannya begitu banyak, ketika masa gadis dulu aku tak pernah tertarik. Aku hanya tertarik langsung pada laki-laki di sampingku.

Hiro berteman dekat dengan Zeo semasa mahasiswa hingga sekarang. Aku, Hiro dan Zeo satu universitas tempo itu. Akan tetapi, Hiro dan aku berbeda jurusan. Hiro mengambil akuntansi sedangkan aku dan Zeo jurusan teknik industri. Dengan sigap, aku ke dapur membuatkan teh untuk tamu spesial hari ini. Aku juga ikut mengobrol bersama.

Kami membahas masa muda yang menyenangkan yang menyimpan berjuta kenangan. Zeo dulu pernah berkata kepadaku bahwa dia menyukai seorang gadis cantik. Sekarang aku mengungkit pernyataannya pada tahun 2022 itu, lagilagi ia tak menjawab pertanyaanku.

Hiro berucap bahwa Zeo memanglah suka membuat orang marah karena penasaran. Aku hanya tertawa mendengarkan tuturan Hiro, suamiku. Zeo yang tak terima atas ungkapan Hiro, bertengkar kecil. Aku yang menyaksikannya hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LOST TOGETHER (On Going)Where stories live. Discover now