✿ Monologue ✿

87 12 16
                                    

(。♡‿♡。)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(。♡‿♡。)

Nami's POV

Semilir angin kembali menerbangkan helaian rambutku. Terasa menusuk ke dalam kulitku saat mengenai pori-poriku.

Di tanganku ada setangkai mawar. Seseorang baru saja memberikannya padaku setelah memujiku sebagai wanita tercantik yang pernah dia temui.

Namun saat aku menolaknya yang memintaku agar menjadi kekasihnya, pria itu menangis. Dia mengatakan akan menungguku sampai aku siap. Tapi kurasa aku tidak akan pernah siap untuknya. Hatiku masih terkunci sampai saat ini dan belum ada satu orang pun yang mampu membukanya.

Aku menghela nafas panjang, sangat berat rasanya. Sesekali otakku berteriak dengan cukup keras agar melupakannya, hanya saja hati kecilku bersikeras agar tidak melakukannya, seolah berkata kalau aku masih memiliki kesempatan dan harapan.

Aku memeluk lutut, menyandarkan daguku di atasnya, memandangi kota Dressrosa dari rooftop hotel mewah ini.

Seandainya 'dia' ada di sini, dia pasti akan memeluk pinggangku dari belakang, lalu bermanja di pundakku dan memberiku kecupan-kecupan manisnya itu. Namun kurasa itu hanya angan-angan semata.

Kenangan lama itu selalu saja berputar. Aku rindu semuanya.

Aku rindu dark jokes dari Robin.

Aku rindu lembutnya suara Vivi.

Aku rindu suara ayunan barbel Zoro.

Aku rindu manisnya coklat buatan Pudding.

Aku rindu masakan Tama.

Aku rindu Luf-

Ah, tidak! Aku tidak ingin terus-menerus memutar memori itu.

Namun jujur saja, dia yang paling aku rindukan selama ini. Aku ingin tahu kabarnya. Aku ingin tahu seperti apa dirinya sekarang. Apa dia berhasil menyelesaikan kuliahnya? Apa dia sudah menikah? Tidak, tidak! Itu terlalu mengerikan untuk dibayangkan. Kalau dia sudah menikah, lebih baik aku tidak pernah tahu bagaimana kabarnya, atau aku akan melompat dari atas rooftop ini.

Egois? Tentu saja. Aku memang memutuskan untuk berpisah dengannya, namun bukan berarti aku sudi menerimanya bersama wanita lain. Aku tidak akan pernah merestui itu sampai ke alam kubur.

Dan yang paling aku khawatirkan adalah, bagaimana kalau sesuatu yang aku takutkan itu malah terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan ketika melihatnya berjalan di atas altar bersama belahan jiwanya, lalu meminta doa restu dariku. Kupikir aku adalah orang pertama yang akan menaruh bom di tempat resepsinya.

Hah!

Aku memang sudah gila. Bahkan sampai sekarang, aku masih tetap gila. Prestasi seorang designer yang aku dapat tidak pernah membuatku merasa puas. Aku tetap merasa kosong dan merasa ada yang hilang. Dan kadang aku berpikir kalau aku memang membutuhkannya untuk mengisi kekosongan itu.

Used To Be [✓]Where stories live. Discover now