6

83 43 1
                                    


“Sok tau Kak Yuni ya kan Kak?” tanya Gua ke Kak Ari, Kak Ari ngangguk-angguk.

“Ya siapa tau Ari mau sama kamu Gey.”

“Kak Ari udah punya pacar tau Kak, ya kan Kak?” ternyata perkataan Gua membuat Kak Ari melototkan mata.

“Iya kah?” tanya Kak Yuni.

“Kak Ari gak usah bohong kali Kak kan cuma kita-kita aja, lagian Gey udah lihat sama mata Gey.” sambil menunjuk kedua mata Gua.

“Gak usah diungkit-ungkit kali Gey, kalo Mama dengar kan bahaya.”

”Emang kamu belum dibolehin pacaran ya?”

“Bebas sih Kak, cuma ya gitu.” jawab Kak Ari mengandung rahasia.

“Maksud Kak Ari tuh gini Kak, dia dibolehin pacaran. Tapi tau lah ibu-ibu sama kayak Tante Namira.” jelas Gua membantu menjawab kebingungan Kak Yuni.

“Kok bawa-bawa nama Bunda.” selanya memotong pembicaraan Gua.

“Ih, denger dulu! Karena Mama Anom maunya menantu yang alim, kan tante Namira juga gitu. Nah, tapi pacarnya Kak Ari itu.” Gua gantung ucapan lalu melirik Kak Ari yang langsung meletakkan telunjuknya di bibirnya.

“Kenapa? beda agama ya?” Gua ketawa ngakak ngelihat ekspresi Kak Yuni yang kepo-kepo bingung.

“Enggalah Kak, Gua gak segabut itu nyampe nyari yang beda agama.” jelas Kak Ari cepat.

“Bukan beda agama Kak, tapi preman.” sahut Gua menyerobot Kak Ari yang lagi menjawab.

“Hah?” pekik Kak Yuni kaget, bikin Gua sama Kak Ari ngelus dada lagi.

“Diluar prediksi BMKG reaksinya.” Gua lempar balik bantal yang tadi dilempar ke Gua dan langsung ditangkap Kak Yuni.

“Adek Lo berlebihan Kak, bukan preman pacar Gua tapi rada tomboy aja. Sial Lo Gey!” Kak Ari melempar kantong kresek yang ada di dekatnya ke Gua.

“Kena lempar mulu Gua dari siang tadi.”

“Lo ngeselin, makanya sial mulu. Bosan Gua, balik dulu Gua Kak.” pamitnya.

“Kak Ari, gak pamit sama Gey?” Kak Ari membalikkan badannya lalu berlalu pergi lagi.

“Heh, gak cocok kalik cowok ngambek kayak gitu.” ungkap Gua keras-keras biar kedengar Kak Ari yang ingin menutup pintu.

“Kamu sih.” Kak Yuni melempar lagi bantal tadi lalu masuk ke kamarnya dan membuka pintu kamarnya lagi pergi ke dapur menenteng gelas dan teko.

“Udah sana tidur! besok kalender gak merah loh.” peringatnya baik-baik.

“Gak ada juga kali yang niat libur.” jawab Gua segera naik tangga.


Siang hari, bau sumpek di kelas gara-gara para cowok yang baru masuk bahkan bajunya udah basah-basah. “Gaen.” panggil Arma.
“Oh, Gaen.”
“Gaen!”
“Gaen!” orang yang setelah dipanggil berkali-kali akhirnya menaikkan satu alisnya.

“Iya, apa Arma?” akhirnya Gaen menatap Arma yang lagi berekspresi sebal.

“Nah, kalau ada cewek cantik manggil, Lo harus menanggapi dengan benar.”

“Iya Arma.” tukasnya tak ikhlas.

“Tanding futsal tadi Lo keren, Gua kira Lo cuma jago karate doang.” Gua setuju dengan perkataan Arma dan kami kaum hawa baru tau ternyata Gaen yang mulutnnya lemes itu jago dalam berbagai bidang olahraga.

“Hah? Cuma itu, Gua kira apaan.”

“Elah! Nyesal Gua muji Lo.” Arma mengeluarkan permen karet dari mulutnya melempar ke arah papan tulis dan berakhir menempel di wajah Gaen.

“Untung Lo cewek!” Gaen menahan emosinya, mengambil dengan tisu bekas permen yang menempel di wajahnya, dia berjalan ke luar kelas menenteng alat mandi dan baju ganti.

Terasa ada yang menepuk bahu Gua dari belakang refleks kepala Gua menoleh.

“Apaan sih?” sinis Gua ke Fagrel.

“Bilangin ke teman Lo, bersikap jangan berlebihan!” dia melangkah pergi menyusul Gaen dengan menenteng barang yang sama, bahkan baju belakangnya lebih basah dari Gaen sampe kelihatan punggungnya.

“Lo sih!” Gua mendorong kepalanya sedikit.


——————
Apa saya masih ada salah ketik?

Figur untuk Geysa [Lagi Nyusun Ending, sabar ya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang