3. Density On Monday

81 22 0
                                    

Kendati sudah pernah melihat sebelumnya, tapi saat mendapati seorang wanita—bukan Marie—keluar dari apartemen Alistair, Heidy masih belum terbiasa. Apalagi, menyaksikan kemesraan Alistair yang tanpa segan-segan mengecup bibir si wanita, menciptakan kerutan tak nyaman di kening Heidy karena merasa matanya sudah tidak suci lagi. Setidaknya, kalau mereka ingin melakukan hal dewasa, lebih baik di dalam. Lagi pula, belum lewat beberapa hari, Alistair sudah menggaet wanita lain.

Pantas saja Marie mewanti-wantinya. Mungkin menurut Alistair, dengan didukung wajah rupawan, memacari banyak wanita semudah membalikkan telapak tangan. Tinggal kedip sekali, maka wanita akan rela menjatuhkan diri ke dalam pelukan. Heidy tak akan heran kalau misalnya Alistair memiliki riwayat penyakit menular seksual.

Mengabaikan dua manusia yang seolah-olah enggan berpisah itu, Heidy berjalan menuju lift. Dia tidak mau banyak komentar, karena mulut pedas Alistair pasti akan mempunyai banyak balasan. Kalau kemarin Alistair membahas mengenai teritori, bisa jadi kali ini dia akan membahas mengenai demokrasi—yang merujuk pada sikap demokratis terhadap perilaku tetangga tanpa adanya tekanan, selagi tidak merugikan pihak manapun.

Padahal, jelas-jelas Alistair sudah mengganggu kedamaian Heidy. Entah bagaimana reaksi para wanita pemuja Alistair saat tahu kalau pria itu pingsan karena melihat kecoa. Kemungkinan besar mereka akan ilfil setengah mati.

"Beb, nanti malam mampir ke apartemen aku, ya? I want to sleep in your arms."

Sempat-sempatnya rungu Heidy menangkap kalimat menggelikan itu. Buru-buru, dia masuk ke dalam lift yang terbuka sambil bergidik ngeri. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi centil wanita bergincu terang yang terakhir dilihat sedang bergelayut manja di lengan Alistair seperti koala.

Demi ulat Alaska, gue pengin muntah!

Begitu pintu lift tertutup setelah menekan tombol, Heidy akhirnya bernapas lega. Namun, sepertinya takdir tak mengizinkannya untuk melewati pagi di hari Senin dengan tenang, karena tiba-tiba ojek online yang ditunggu Heidy, membatalkan pesanan, membuat wanita itu dilanda kepanikan. Tak ada alasan, hanya permintaan maaf yang tidak dibutuhkannya di saat mendesak begini. Sangat sulit untuk mendapatkan driver di waktu sibuk. Mobil kreditnya masih menginap di bengkel dari kemarin, dan akan diambil sore nanti, sepulang kerja.

Jadi, Heidy harus bagaimana?

"Saya pikir kamu udah berangkat kerja."

Barangkali penasaran melihat Heidy berjalan mondar-mandir di lobi sambil menggigit jari dengan perhatian tak lepas dari benda persegi panjang dalam genggaman, Alistair lantas melontarkan pertanyaan.

Heidy menoleh. Padahal, dia sudah berusaha untuk menghindari Alistair, tapi mereka malah bertemu lagi di lobi. "Lagi nunggu driver," jawabnya singkat.

Alistair mengangguk, enggan untuk bertanya lebih lanjut karena bukan urusannya.

"Perempuan itu, tetangga kamu, kan?" Wanita bergincu terang menatap Heidy seakan-akan sedang menilai penampilannya.

"Iya." Alistair merasa tak perlu mengenalkan Heidy kepada Diana—teman kencan barunya. Tak ada gunanya. Toh, dia bahkan tak tahu menahu tentang wanita itu selain nama depannya yang ditulis di sebuah sticky note saat memberikan kue kering.

"Orangnya memang kurang ramah, ya? Dari tadi mukanya ditekuk terus."

Sekali lagi, Alistair melirik Heidy, entah untuk memastikan ucapan Diana atau memang ekor matanya tak tahan untuk menangkap mimik wajah Heidy yang ekspresif.

"Nggak tahu." Alistair mencoba fokus pada iPad yang dibawanya, menampilkan grafik saham dari start-up yang dikelolanya beberapa tahun belakangan.

"Tapi—"

Nice To Date You!Where stories live. Discover now