8

119 20 33
                                    

Hari demi hari berlalu, dan Hamada Katsuro akhirnya tertangkap di sebuah bar. Kasusnya menyebar luas di kota ini, semua media membicarakannya mulai dari acara televisi hingga surat kabar harian. Dan hal itu berdampak pada Asahi, setiap hari pasti ada saja orang yang menemuinya untuk membicarakan perihal Ayahnya.

Anak sekecil itu berkelahi dengan wartawan.

Karena hal itulah Ayaka yang tidak tega mengetahui Asahi diteror wartawan pun akhirnya membawa bocah itu untuk tinggal sementara bersamanya dan Haruto. Setidaknya dia aman disini.

Awalnya Haruto kira tinggal bersama Asahi akan menyenangkan karena mereka bisa bermain dan melakukan banyak hal bersama. Namun nyatanya tinggal bersama bocah manis itu membuat dirinya semakin resah akan perasannya yang semakin hari semakin susah dikendalikan.

Haruto sadar ia benar-benar menyukai Asahi, dan ia juga tau hal ini tidaklah bisa dinormalisasikan.

Dan karena hal itu akhir-akhir ini moodnya menjadi berantakan, ia yang awalnya sudah menerima perasannya pun kembali denial karena memikirkan bagaimana pandangan orang lain jika tau ada yang salah dengannya.

"Haruto."

Plak!

Mata Asahi membulat sempurna saat Haruto menepis tangannya dengan kasar, padahal Asahi hanya menyentuh rambut bocah itu. Ia memegang tangannya yang terasa sedikit sakit.

Sedangkan Haruto yang sadar dengan apa yang ia lakukan pun menoleh pada Asahi yang menatapnya dengan pandangan takut. "Maaf. . ." Lirihnya.

Haruto menarik pelan tangan Asahi agar duduk disebelahnya, ia memperhatikan tangan kecil itu memerah karena ulahnya tadi. "Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan, maafkan aku." Lanjutnya, dari nada bicaranya terdengar jelas penyesalan disana.

Asahi menarik tangannya dari genggaman Haruto, lalu mengangguk pelan. "Tidak apa-apa, Haruto. Aku hanya sedikit terkejut." Balasnya.

Hening.

Kedua bocah itu tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Haru, " Hingga akhirnya Asahi lah yang kembali membuka pembicaraan. Panggilannya barusan hanya mendapatkan deheman pelan dari Haruto sebagai balasan.

Si manis itu memilin jari-jari mungilnya, ia ragu untuk mengatakan ini pada Haruto. Namun dengan satu helaan nafas, "Sepertinya aku harus pindah ke rumah Nenek."

Dan setelah kalimat itu lolos dari mulut Asahi, Haruto langsung menoleh dan memusatkan seluruh perhatiannya pada bocah itu. "Apa?" Tanyanya memastikan.

Asahi menghadap Haruto, membalas tatapan temannya itu dengan pandangan sendunya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Nenekku, dan aku juga tidak bisa meminta Nenek untuk tinggal bersamaku di rumah Ayah. Jadi mau tidak mau aku yang harus pindah kesana." Jelasnya.

Haruto menggelengkan kepalanya, "Tidak boleh. Kau tidak perlu melakukannya, aku akan memohon pada Ibu agar dia mengijinkanmu tinggal disini."

"Tidak bisa seperti itu, Haruto. Akuㅡ"

Bruk!

Haruto mencengkram bahu sempit Asahi lalu mendorongnya hingga bersandar pada kepala sofa, ia mendekatkan dirinya pada Asahi yang tampak sangat terkejut. "Aku tidak ingin kau pergi. . ." Lirih Haruto, ia memandang Asahi dengan tatapan sendunya.

Mereka saling menatap selama beberapa saat, hingga akhirnya cekalan Haruto melemas. Ia mengalihkan pandangannya, "Maaf."

Grep.

Saat Haruto akan menjauhkan diri dari Asahi, bocah manis itu tiba-tiba memeluk leher Haruto dengan erat. Membuat Haruto seketika terdiam. Ia bisa merasakan helaan nafas Asahi pada lehernya, pun dengan jemari mungil itu yang meremat kaos yang ia kenakan.

Perasaan ini. . .

"Haru. . ."

Haruto membulatkan matanya saat Asahi mendekatkan wajahnya, ia mencengkram bahu bocah itu lalu mendorongnya. "Tunggu, menjauh dariku!" Katanya sembari membuat jarak duduk diantara keduanya.

Asahi menatap Haruto dengan sayu, ia kembali mendekatkan dirinya pada bocah tampan itu namun Haruto malah berdiri. "Tidak apa-apa, Haruto. Terkadang aku juga merasakannya." Balasnya sembari ikut berdiri dihadapan Haruto.

Bruk!

Lagi-lagi tubuh kecil itu terdorong, kali ini Haruto mendorongnya sampai Asahi tersungkur didepan sofa. Lalu setelahnya Haruto bergegas pergi dari rumah, entah kemana tujuannya nanti, yang terpenting sekarang adalah menjauh sejenak dari Asahi.

Pikirannya benar-benar kacau.

Kerikil tidak bersalah yang ada di tepi jalan itu menjadi sasaran kekesalan Haruto, ia kesal pada dirinya sendiri. Rasanya ia ingin menyingkirkan perasaan aneh ini dari hatinya sekarang juga. Namun percuma karena tidak semudah itu ferguso.

Bocah tampan itu menghela nafasnya, lalu berhenti di tepi jembatan dan menyandarkan tubuhnya di pembatas jembatan itu. Untuk ukuran bocah berusia 12 tahun, ia merasa permasalahan ini terlalu berat untuknya.

Menyukai seseorang memang tidak ada salahnya, namun akan jadi masalah jika menyukai orang yang tidak tepat. Maksud Haruto, seharusnya perasaannya tidak akan serumit ini jika saja orang yang ia sukai adalah seorang gadis.

Tapi Asahi laki-laki! Haruto bahkan pernah mandi bersamanya dan bocah itu memang laki-laki tulen walaupun wajahnya terlihat manis dan cantik.

Huh. . .

Haruto menghela nafasnya lelah.

"Hei, Nak? Apa kau tersesat?" Haruto menoleh, mendapati seorang nenek-nenek yang berjalan menghampirinya. Ia menggeleng pelan menanggapi pertanyaan nenek tua itu. "Rumahku didekat sini, Nek. Aku hanya berjalan-jalan sebentar."

Nenek itu mengangguk-angguk paham lalu ikut menyandarkan tubuhnya pada pembatas jembatan. "Apa kau sedang menghadapi masalah? Raut wajahmu sudah menjelaskan semuanya." Kata beliau sembari terkekeh pelan.

Haruto lagi-lagi menghela nafasnya, sepertinya ia butuh sedikit curhat dan sepertinya Nenek ini datang tepat waktu. "Kurasa aku sedang menyukai seseorang, Nek."

"Dan aku tidak bisa memberitahukannya pada siapapun."

"Karena mereka tau aku tidak akan pernah bahagia." Nada suara Haruto memelan di akhir, ia menundukkan kepalanya. Menatap kosong pada sepatu yang ia kenakan.

Nenek itu tersenyum lalu meraih bahu Haruto, mencoba membuat bocah tinggi itu menatapnya. "Dengar. Jika hanya sebagian orang yang memilikinya, itu tidak bisa disebut kebahagiaan." Ucapannya membuat dahi Haruto berkerut, ia belum paham dengan maksud sang Nenek.

"Itu hanyalah omong kosong. Karena kebahagiaan sebenarnya adalah hal yang bisa dimiliki oleh semua orang." Lanjutnya, Nenek itu tersenyum sekali lagi lalu menepuk pelan bahu Haruto.

"Ciptakan kebahagiaanmu sendiri, Nak. Tidak perlu memikirkan bagaimana pandangan orang lain tentang dirimu, hidupmu adalah milikmu dan mereka tidak berhak ikut campur."

Kalimat panjang Nenek itu membutuhkan waktu untuk diproses oleh otak Haruto, hingga saat ia menyadari makna dari semua kalimat itu, sosok Nenek tadi sudah berjalan jauh didepannya.

Sudut bibir Haruto perlahan membentuk sebuah senyuman, "Terimakasih, Nek." Katanya walaupun ia tau Nenek tadi tidak akan mendengarnya.

Kemudian, dengan langkah pasti dan perasaan lega, Haruto membawa dirinya kembali pulang ke rumah untuk menemui Asahi.

ㅡtbc

Kayanya aku salah ambil latar usia deh, harusnya bikin mereka udah smp aja biar bisa ciㅡ

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHILDHOOD | harusahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang