BAB 14 : Ternyata kamu Gus

155 16 2
                                    

Selama di perjalanan Zaira hanya menatap jalanan yang padat. Banyak mobil yang berlalu lalang yang memperlihatkan kesibukan kota jakarta ini, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, matahari yang mendominasi langit biru yang terang memberikan kesan keindahan kota di pagi hari.

Mobil Irham memasuki sebuah gang yang cukup luas akan jalanannya. Rumah-rumah yang berjejer rapi serta jalanan yang bersih sepertinya tempat ini cukup terawat dan warganya juga menjunjung tinggi kebersihan serta norma-norma kehidupan.

Semakin dalam mobil mereka memasuki gang semakin banyak orang-orang, lebih tepatnya anak-anak muda. Ntahlah, bagi Zaira ini terlihat sangat aneh, ketika mobil yang mereka naiki hendak memasuki kawasan itu terlihat anak-anak muda berjejer rapi di samping jalanan sambil menundukkan kepalanya seperti memberi hormat, namun ekspresi Irham biasa saja seperti ini adalah hal biasa baginya.

Zaira duduk rapi menatap lurus ke depan hingga saat mereka memasuki gerbang matanya tertuju pada tulisan yang ada di atas gerbang tersebut. "Pondok pesantren Al-Muzammil." Zaira membacanya dengan pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya. Puluhan pertanyaan ingin ia lontarkan kepada sang suami, namun niat itu ia urungkan.

"Sepertinya kita tidak bisa menaruh mobil didepan rumah ataupun di garasi rumah," ucapnya.

"Kenapa?"

"Anak santri banyak yang mau ke sekolah, jalanan rame, nanti ketabrak, gimana?"

Zaira tak merespon sang suami namun ia hanya mengatakan "Oh." sambil mengangguk-ngangguk.

"Mas." panggil Zaira saat Irham hendak melangkahkan kakinya. Terpaksa laki-laki itu menghentikan langkah kakinya saat mendengar dirinya di panggil.

"Kenapa, hm?"

"Kamu.... Gus?" tanya Zaira, hati-hati.

Irham mengangguk, membernarkan pertanyaan sang istri.

"Kok aku gak tau? kok kamu gak pernah cerita? kok kamu--" Irham meletakkan jari telunjuknya di bibir sang istri.

"Sttt, nanti aja, kita masuk dulu, yuk."

Irham menggenggam tangan Zaira membawanya menuju rumahnya. Irham tidak berjalan menuju jalanan pada umumnya karena disana pasti akan ramai dan Zaira pasti akan merasa risih jadi dia mengambil jalan yang biasanya di pakai oleh orang rumah jika malas lewat jalur ramai itu.

Jalanan itu tidak selalunya sepi ada beberapa mbak santri yang memang memiliki tugas membersihkan tempat itu, itu tugas haddam. Sepertinya saat ini ada beberapa mbak-mbak santriwati yang sedang menyapu melihat kehadiran Gus mereka lantas merekapun menundukkan pandangan mereka lain jika kepada Zaira, mereka menyalami tangan gadis itu dengan takzim, awalnya Zaira ingin menolak namun ntahlah ada perasaan tidak enak didalam hatinya seperti tidak menghargai saja bukan.

Ya, sebagian dari mereka tau bahwa Zaira adalah menantu keluarga Dhalem, istri Gus Irham yang dinginnya poll, jika Irham mengajar kitab maka mereka akan bisu seribu bahaya. Ntahlah, dia memiliki aura yang sangat berbeda, sama seperti abi.

Hanya mbak-mbak yang memiliki tugas di Dhalem yang tau Zaira karena foto pernikahan mereka ada di ruang tamu. Umi yang menurutnya.

"Assalamualaikum." sapa Irham saat sudah berada di depan pintu masuk.

"Wa'alaikumsalam," jawab yang lainnya, serentak.

"Masya Allah, mantu sama anak umi udah datang, ayok masuk." umi mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa yang memang ada di ruangan itu.

"Umi." Zaira menyalami kedua mertuanya begitupun dengan Irham.

"Kapan pulang, Mi?" tanya Irham pada laki-laki yang kini berada di sebelah Abi.

"Tiga hari yang lalu, kak."

"Kok gak ngabarin."

"Sibuk."

"Sok sibuk," cibirnya.

Fahmi adik laki-laki Irham yang kini baru lulus dari Tarim terdiam lesu. Sepertinya laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu.

"Yasudah, kalian ngobrol dulu, Abi kebelakang dulu."

"Iya, Abi."

"Zaira, bantuin umi masak, yuk. Buat cemilan."

"Ayok, Umi, kebetulan Zaira pengen makan masakan umi."

Kini hanya tinggal Fahmi dan Irham di ruang tamu, tak ada pembicaraan di antara keduanya, hening. Hingga akhirnya Irham memilih memecah keheningan diantara mereka.

"Ada apa, Mi?"

"Ada apa? tidak ada apa-apa."

Irham menghela nafasnya. Sulit sekali berbicara dengan adiknya ini. "Kakak tau ada yang sedang kamu sembunyikan."

Kali ini Fahmi yang menghela nafas panjang, sudah bisa di tebak bahwa kakaknya ini adalah Cenayang. "Kek dukun aja."

"Ayna?" Fahmi langsung menatap lekat kakaknya itu, bagaimana ia tau?.

"Karena Ayna, kan?" tanyanya ulang.

Fahmi mengangguk. Toh, percuma berbohong kepada kakaknya ini, ujung-ujungnya juga ketahuan, kan Cenayang.

"Kenapa?"

"Tiga tahun yang lalu aku berjanji kepadanya jika sudah lulus maka aku akan melamarnya dan ia mengatakan iya, satu tahun yang lalu saat ulang tahunnya aku memberikan uang kepada Dito, adiknya untuk membelikannya kado ulang tahun untuknya."

"Lalu tiga bulan sebelum kelulusanku, aku mendapatkan sebuah kabar dari Ardi, temanku waktu SMA dulu dia mengatakan bahwa Ayna memiliki kekasih lain. Aku tidak percaya karena Ayna tidak akan melakukan itu hingga ketika aku turun dari pesawat aku tidak langsung pulang melainkan menuju rumah Ayna dan--"

"Dan?" tanya Irham, yang mulai penasaran dengan kelanjutan cerita sang adik.

"Dan, aku melihat sendiri Ayna pulang di antar laki-laki itu. Ntah ini petunjuk atau bukan dari Allah kakiku melangkah mendekati rumah itu, aku berdiri di depan pintu rumah tersebut dan sialnya aku mendengar mereka membicarakan pernikahan yang akan di adakan bulan depan."

Irham cukup terkejut mendengar cerita adiknya, bagaimana mungkin? Setahunya Ayna adalah gadis yang setia dan dia juga gadis baik-baik mereka saling mencintai namun mengapa tiba-tiba Ayna memutuskan meninggalkan Fahmi tanpa memberitahunya terlebih dahulu atau bahkan memberi tahu dirinya.

"Kamu tau laki-laki itu?"

Fahmi mengangguk. "Anak pemilik tambang." jawab dengan sorot mata penuh luka.

Irham memeluk erat tubuh rapuh itu, ia paham rasa sakit yang di alami oleh adiknya. Betapa hancurnya hati laki-laki saat mengetahui bahwa orang yang selalu ia sebut dalam doanya kini harus ia lepas bersama laki-laki lain.

"Kenapa harus Ayna, kak?" tanyanya. Irham dapat merasakan bahwa adiknya ini menangis. Untuk pertama kalinya setelah dewasa dia melihat adiknya menangis dan ini karena seorang wanita? sungguh besar cintanya namun Allah tidak mengizinkan mereka bersama.

"Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukmu."

"Apa aku bisa melewatinya?"

"Pasti."

*

*

*

Hayooo, siapa yang pernah
di tinggal tunangan

Kalo Lily bukan di tinggal tunangan
di tinggal sikapnya yang dulunya hangat.
dan jadi asing:)

Sajadah Cinta | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang