04. Speak Now.

451 73 19
                                    

Rambut pirangnya bergerak halus karna angin, sedangkan netra hijau zambrudnya dibawa menatap lurus pada gadis yang berdiri tak jauh darinya.
Tatapannya terlihat tak bersahabat, baik Claudine maupun Layla, mereka terlihat tak bersahabat.
Claudine mendorong pelan dada Matthias, membuat pria itu sedikit mundur. Bau wine yang cukup pekat tercium dari Matthias, tentu Claudine pusing saat mencium baunya.

"Tuan Duke?" Suara halus Layla terdengar sekali lagi, kali ini sedikit lebih kencang. Sedangkan alisnya menukik dengan raut tak suka.

Suasananya cukup canggung.
Claudine berpikir untuk pergi, tapi tangannya malah ditahan oleh Matthias. Suara seraknya kembali terdengar, kali ini lebih menuntut.

"Tetap di sini, lady. Jangan pergi." Itu permohonan atau perintah? Karena menurut Claudine itu lebih seperti perintah yang menuntut.

Claudine diam, namun dia menghiraukan tangan Matthias yang menahan tangannya. Kini mata Claudine berseteru dengan Layla, menatap si pirang dalam balutan gaun tidur yang lagi-lagi Claudine tebak lebih tipis daripada taplak mejanya.

"Saya ingin berbicara pada anda, lady." Kata Layla dengan serius. Matanya semakin menyala. "Apakah boleh, tuan?" Kini dia bertanya pada Matthias.

Untuk beberapa detik, pria itu tak menjawab. Sampai akhirnya berbalik badan, dia terlihat tak suka akan perkataan Layla.
"Kenapa kau kemari? Bukankah sudah ku katakan kau di skors?" Kata Matthias dengan nada tajam.

"Oh, saya ingin---"

"Sudahlah, biarkan Layla berbicara empat mata dengan saya. Lebih baik anda masuk ke dalam, tuan Duke." Claudine menghela napas pelan dan menarik tangannya agar Matthias melepaskan cengkramannya.

Sebenarnya ada sedikit perasaan mengganjal di hatinya.
Semenjak hari itu, malam hujan di mana Claudine mencurahkan isi hatinya, Claudine memutuskan untuk sedikit memberi jarak dengan Matthias.
Itu sedikit sakit, karena pada kenyataannya perasaan Claudine belum hilang sepenuhnya.

Melihat Matthias dan Layla berduaan di taman Herhardt saat malam kala itu, tentunya lebih sakit ketimbang tertusuk jarum saat menyulam.
Claudine merasakan dadanya yang sesak dan air mata yang tak mau berhenti mengalir.
Memergoki pasanganmu selingkuh dari kejauhan dan hanya bisa menyimlan fakta itu sendirian, bukankah cukup pedih?

Beruntungnya Claudine masih bisa berdiri tegap dan menahan diri untuk tidka membuat masalah lebih parah daripada kehidupan lalu.
Claudine sudah mencoba sebisa mungkin untuk mengabaikan eksistensi Layla, bahkan mencoba untuk tetap mengontrol emosinya.
Walau rasanya tetap saja sia-sia, karena Claudine masih menganggap Layla sebagai hama yang harus dihapuskan.

--·--

Balkon kini terasa sedikit sunyi. Udara dingin membuat Claudine tak berhenti menggosok kedua telapak tangannya.
Mata birunya masih mempertahankan tatapan tajam dan angkuh yang ia lemparkan pada si pirang, begitupun sebaliknya.

"Aku tidak tahu kalau setiap malamnya kalian akan bertemu di paviliun begini." Claudine terkekeh pelan, ucapannya jelas sedikit menyindir Layla.

Layla mendengus, lalu mengambil beberapa langkah mendekati Claudine sehingga kini mereka berdiri berhadapan.
Mata hijau zambrud nya dibawa menelisik penampilan Claudine yang masih rapih dengan dress yang cukup tertutup.

"Saya mau minta maaf."

Ucapan Layla membuat Claudine terdiam, senyum tipis Claudine sontak mengendur kala mendengar ucapan permintaan maaf itu.
Kini tangan Claudine melipat di depan dadanya.

Forelsket ; Rewrite Our Heart.Where stories live. Discover now