01. Pesta Malam Senin

48 4 0
                                    

🎸🩹❤️‍🩹

"Duh, jangan mati sekarang!"

Kalimat itu meloncat kasar dari mulut Kiran. Gadis itu panik sepanik-paniknya. Dia berusaha mengambil napas panjang berulang kali, memperbaiki kuncir rambut, juga menepuk-nepuk pipi laki-laki di depannya tapi dia masih tidak kunjung bangun.

"CPR, CPR, tangan kanan di atas punggung tangan kiri, satu... dua...." Kiran berusaha membimbing dirinya sendiri, berusaha menyelamatkan laki-laki asing yang pingsan–atau mungkin, mati. Sudah lima menit, dia melirik jam yang ada di ponselnya. Kiran berhenti, dia menarik napas panjang.

Gadis itu celingak-celinguk ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa. Aneh, padahal tadi tempat ini masih dipenuhi orang-orang berpesta dan sekarang bahkan angin pun malas berembus. Entah situasi yang baik atau tidak. Jika orang ini mati, tidak ada saksi yang bisa menuntut Kiran sebagai pelaku. Jika orang ini masih hidup, tidak ada yang bisa membantu memberi pertolongan.

Kiran menjambak rambutnya pelan. "Bangun, dong!!"

Plak, plak!

Dia menampar kedua pipi sang lelaki. Tidak ada respons. Lantas Kiran mendekatkan jari telunjuknya ke hidung manusia pingsan itu. Kiran menghela napas lega, masih ada napas.

Kiran melirik ponselnya lagi. Sudah tujuh menit. Dia berbisik pelan, pelan sekali sampai jangkrik pun harus izin jika ingin menguping, "Ayo, ayo coba lagi. Kinan, kamu bisa kok nyelamatin orang!"

Sedetik kemudian, gadis itu melenguh frustasi, menambahkan invalidasi, "Kayaknya."

Kiran, usia 19, melakukan CPR lagi pada orang asing yang dia tidak kenal di halaman rumah yang tidak ia kenal si empunya, sambil menunggu cemas ambulans yang entah kapan datang. Mungkin hari ini nasibnya selesai. Atau mungkin, baru dimulai.

🎸🩹❤️‍🩹

Prasasti Kiran awalnya sangat ragu saat Keilani mengajaknya untuk datang ke pesta ulang tahun anak teman maminya itu. Kiran nggak kenal, Keilani juga nggak kenal-kenal amat walau gadis itu semangat 45 mengajak Kiran. Katanya sih, karena rumahnya langsung berhadapan dengan pantai dan Kiran tahu persis temannya itu ngidam jalan-jalan ke pantai sejak tahun lalu.

"Tante Linda juga ngundang Clover Clever, Kir! Lo suka banget, 'kan, sama–"

Kiran memutar bola matanya. Dia meralat, "Gue sukanya sama Coven Clover, Kei. Bukan Clover Clever."

"Yaelah, lagian nama band mirip-mirip. Tapi lo mau, 'kan, ikutan gue? Pleaseee, Mami nggak bakal bolehin gue ke sana sendirian," Keilani mulai merengek, "gue udah ikutin semua yang disuruh Mami tapi tetap aja, strict banget anjir! Kenapa sih ngasih undangan ke gue kalau nggak dibolehin pergi sendiri. Mami tuh ya, cuma mau didengerin, nggak pernah mau dengerin gue!"

Kiran tidak suka jika Keilani memulai pembicaraan tentang rumahnya yang bukan rumah itu. Jadi, dia mengiyakan dengan cepat, "Iya, iya! Gue ikutan! Kapan? Bukan malam Minggu ini, 'kan?"

"Bukan, kok! Malam Senin!"

Keilani Hanum sudah paham dengan Kiran. Kiran tidak boleh diganggu di malam Minggu pekan pertama di tiap bulan. Temannya itu sudah punya jadwal tetap, tidak boleh diganggu gugat. Bahkan kalau dunia kiamat (mau sughra atau kubra, terserah), acara tetap Kiran akan tetap berjalan.

Kiran adalah pecinta buku. Cinta sekali sampai-sampai dia harus berebut ruang untuk menyetrika dengan tumpukan buku di kosnya sendiri. Setiap malam Minggu pekan pertama di tiap bulan, dia akan menghadiri perkumpulan pecinta bukunya–book club. Namanya Platypus Prodigies Society (PPS).

Snapback BendDonde viven las historias. Descúbrelo ahora