One

4 2 0
                                    

───── ⋆⋅ ☆ ⋅⋆ ─────

Romeo Jhonny, lelaki angkatan akhir yang digadang-gadangkan oleh mereka begitu sempurna. Paras rupawan, tubuh tinggi tegap serta otak jeniusnya begitu didewakan oleh seluruh penghuni asrama.

Bahkan kepala asrama rela membuatkannya satu kamar pribadi sebagai bentuk apresiasi. Satu kamar pribadi yang berada diujung kamar asrama laki-laki dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.

Ada banyak yang ingin dekat dengannya, namun tak satupun dari mereka yang benar-benar dekatnya. Sifatnya yang tertutup namun tak menolak jika disapa membuat sebagai orang berpikir bahwa Romeo adalah laki-laki yang mudah berbaur, nyatanya tidak.

Sikap ramah yang selalu membalas sapaannya orang-orang hanyalah sebuah buaiannya semata.

Tidak ada Romeo yang ramah. Itu hanya buaian untuk menjadi nomor satu dan satu-satunya.

"Selamat pagi, Romeo"

Ucapan selamat pagi terakhir di pagi yang cerah nan indah ini. Cerah, seperti senyum yang Romeo berikan pada mereka yang menyapanya sepanjang jalan menuju kelas.

Jemarinya bergerak memutar gagang pintu, lalu mendorongnya secara perlahan. Ia suka situasi seperti ini, situasi di mana ia dinantikan, ditunggu-tunggu kehadirannya lalu di sambut dengan tatapan penuh kekaguman. Ia suka menjadi nomor satu.

"Romeo ku, kemari duduk dengan ku" satu suara petikan terdengar begitu nyaring nyaris mengerikan jika didengar orang yang tengah sekarat.

Dia, Ophelia Daisy. Gadis bersurai hitam dengan tubuh ringkih, anak gadis kepala asrama. Dia, Ophelia Daisy. Gadis yang sudah hampir tiga tahun mengejar pujaan hatinya, Romeo.

Baiklah, jika Romeo akan bersikap ramah kepada mereka yang menjadikannya sebagai nomor satu maka berbanding terbalik dengan Ophelia Daisy, orang yang menjadikan sebagai satu-satunya.

Bukan rahasia umum lagi jika Romeo kurang menyukai anak gadis kepala asrama. Semua orang tahu itu, bahwa kepala asrama juga mengetahuinya, namun acuh tak acuh mereka pilih untuk jadikan tanggapan.

Akankah Ophelia dengan segala tingkah mampu membuat orang nomor satu di asrama luluh?. Itu yang mereka nantikan.

Romeo melirik sekilas, melewati meja tempat dimana Ophelia duduk. Laki-laki itu memilih duduk diujung ruang, dekat dengan jendela.

"Baiklah, jika kamu tidak ingin duduk dengan ku maka aku yang akan duduk dengan mu" usai mengatakannya, Ophelia mulai memasukan buku-buku yang sudah ia susun diatas meja.

Ketika semua nya sudah selesai dan hendak beranjak ternyata kursi kosong di samping Romeo sudah terisi.

Ini bukan pertama kalinya Ophelia melihat kursi disebelah Romeo terisi, namun entah mengapa rasanya masih sama. Sesak dan itu menyakitkan untuk Ophelia pendam.

Kursi itu seharusnya menjadi miliknya, namun lagi-lagi ia kalah dengan orang yang Romeo persilahkan secara suka rela untuk duduk disamping laki-laki itu.

Di sana, Ruby Caroline duduk disamping Romeo. Saling melempar canda serta tawa yang menghangatkan suasana.

Sementara Ophelia kini tertunduk menatap kotak pensil yang ternyata belum ia masukan kedalam tas.

"Ya sudah kalau begitu" begitu ringan Ophelia mengungkapkan nya.

Membuka kembali tas yang belum lama tertutup. Mengeluarkan kembali isi didalamnya untuk kembali disusun diatas meja sembari menanti guru datang.

Ophelia rasa ia harus mengalah untuk hari ini dengan Ruby. Rasa sesaknya terlalu mendominasi, lagi pula ia akan selalu kalah walaupun sudah mencoba.

"Pemandangan yang seharusnya diabadikan" cekuk salah satu dari mereka yang merasa asing dengan situasi ini.

Mendengar cekuk salah satu dari mereka, membuat mereka lantas mengarahkan pandangannya pada Ophelia dan Romeo yang tengah bercanda dengan Ruby diujung ruangan.

Jika biasanya Ophelia akan dengan cepat menghampiri Romeo dan dengan kasar mengusir Ruby, namun kali ini tidak. Ophelia hanya diam dan kembali menata bukunya.

Ophelia yang mendengar itu acuh. Sungguh saat ini yang ia butuh kan hanya pelukan hangat yang mampu menenangkan, bukan kalimat yang semakin membuatnya sesak tanpa alasan.

Bukankah mereka sudah tiga tahun berada dikelas yang sama?. Seharusnya mereka sudah tahu bahkan Ophelia kalah jika itu menyangkut dengan Ruby.

Jika saja ini terjadi pada satu September dua tahun lalu mungkin ia akan berlari meninggalkan kelas dengan air mata yang berlomba-lomba keluar dari matanya. Mencoba menemukan seseorang yang dapat merengkuhnya dengan eratnya sembari membisikkan kalimat penenang.

Suara riuh yang tadinya membicarakan tentang pemandangan yang kata mereka harus diabadikan itu terhenti ketika guru mulai memasuki ruangan.

Semuanya mulai diam mengamati apa yang guru terangkan. Mencatatnya dalam selembar kertas juga ingatan. Sesekali mereka juga saling bertukar pandangan dengan teman sebangkunya.

Satu, Dua, Tiga jam pelajaran sudah selesai. Meninggal kelas dalam keadaan yang kembali riuh. Ada yang buru-buru hendak beranjak ke kantin, ada pula yang ingin menghabiskan waktunya dengan membicarakan kesempurnaan si nomor satu.

Dan, Ophelia bukan salah satu dari mereka. Ophelia, gadis itu mengeluarkan dua kotak makan berwarna hijau dan biru dari lacinya. Membawa kotak makan itu menuju ujung ruangan yang hanya menyisakan pujaan hatinya, tanpa seorang gadis yang duduk disampingnya.

"Romeo" panggil Ophelia. Ia masih sesak, namun tak seperti tadi yang begitu mendominasi.

Romeo menoleh, menatap anak gadis kepala asrama yang tengah membawa dua kotak makan, ia tahu bahwa salah satu dari kotak tersebut akan diberikan kepadanya.

"Maaf. Ruby sudah memesankan ku makan siang" ujar Romeo tanpa basa-basi.

Ophelia diam, menatap dua kotak makannya lamat lalu kembali menatap Romeo yang bahkan sudah tidak menatapnya.

"Sedikit saja tidak mau?" tanya Ophelia.

"Tidak"

"Satu sendok saja, Romeo" ujar Ophelia memohon.

Romeo diam. Membuat Ophelia mengartikannya sebagai tanda persetujuan akan tawarannya.

Ophelia tersenyum senang, lantas ia duduk di kursi kosong disamping Romeo. Membuka kotak makannya satu persatu lalu menyusunnya. Hendak mengarahkan sendok yang berisi nasi goreng, lalu menyuapkannya kepada sang pujaan hati, sebelum sang pujaan hati tiba-tiba berdiri.

"Ah?" Ophelia bingung.

Romeo mendekat, membisikkan kalimat ditelinga Ophelia dengan pelan.

"Kamu pikir, setelah kamu mencoba membunuh ku dengan masakan mu itu aku mau memakannya lagi?" begitu katanya sebelum berjalan keluar kelas.

Meninggalkan Ophelia dengan senyum yang mulai memudar dan tangan yang menggantung. Menggantung sendok nasi goreng yang ia buat pagi tadi.

"Huh. Kamu benar, ini bisa membunuh mu"

Ophelia mengatakannya usai menelan habis nasi goreng buatannya yang digantungkan. Merasakan bagaimana nasi goreng itu membunuh indra perasa nya dengan rasa yang tak pernah bisa dinikmati.

"Aku sudah berusaha, sayang jika tidak dimakan" lanjutnya.

Istirahat hari itu habis dengan Ophelia yang mencoba menghabiskan nasi goreng buatannya yang katanya mampu membunuh seseorang.

───── ⋆⋅ ☆ ⋅⋆ ─────

07052024.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Romhe; love Where stories live. Discover now